PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
POLITIK
DAN STRATEGI
NAMA : TIYARA ENGGAR P.S
NPM : 16210921
KELAS : 2EA08
FAKULTAS :
EKONOMI
JURUSAN : S1 MANAJEMEN
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur saya panjatkan kepada ALLAH S.W.T karena atas limpahan rahmat dan
karunianya serta atas kehendaknya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah
ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh bapak Burhanudin.
Makalah ini diperoleh dari informasi
media massa yang berhubungan dengan pengertian “POLITIK dan STRATEGI”. Materi
ini bertujuan agar mahasiswa sebagai kalangan inteektual dan masyarakat
mengerti tentang system ketatanegaraan Indonesia. Tak lupa saya ucapkan terima
kasih kepada dosen pengajar atas bimbingan dan arahannya. Juga kepada
rekan-rekan yang telah mendukung saya hingga terselesaikannya makalah ini.
Saya harap dengan membaca makalah
ini dapat memberi manfaat bagi kita semua dalam hal menambah wawasan tentang
Bangsa dan Negara dan kewarganegaraannya. Memang makalah ini masih jauh dari
hasil yang baik maka dari itu saya membututuhkan kritik dan saran yang
mendukung agar menuju kearah yang lebih baik.
Depok,
April 2012
PENULIS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
………………………………………………………………………….….…... 2
DAFTAR ISI
………………………………………………………………………………………….… 3
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………….. 4-5
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………… 6-17
I.
SISTEM
KONSTITUSI………………………………………………………...….. 6-10
1.1 Pengertian Konstitusi
……………………………………………………………..…….. 6-7
1.2 Tujuan Konstitusi
……………………………………………………………….….…… 7-8
1.3 Klasifikasi Konstitusi
…………………………………………………………………... 8-10
II.
SISTEM
POLITIK DAN KETATANEGARAAN INDONESIA ………………. 10-17
2.1 Sejarah Ketatanegaraan Indonesia …………………………………………………...….
10
2.2 Dasar Pemikiran dan Latar Belakang
Perubahan UUD 1945 …………………….……. 15
2.3 Hierarki Peraturan Perundang-undangan
……………………………………….….….... 16
2.4 Kesepakatan Panitia AD HOC tentang
Perubahan UUD 1945 …………………...…… 17
BAB III KEIMPULAN ……………………………………………………………..…….…… 18
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………
19
2.5
BAB I
PENDAHULUAN
Strategi berasal dari kata yunani strategis yang artinya the
art of the general.
Antoine Henri Jomini (1779-1869) dan
Karl Von Clausewitz secara ilmiah Jomini memberikan pengertian yang bersifat
deskriptif. Ia katakan bahwa strategi adalah seni menyelenggarakan perang
diatas peta dan meliputi seluruh wawasan operasi, sedangkan Clausewitz dengan
tegas membedakan politik dan strategi.
Dalam abad modern sekarang ini arti
strategi tidak lagi terbatas pada konsep ataupun seni seorang pangliman di masa
perang tetapi sudah berkembang den menjadi tanggung jawab seorang pemimpin.
Strategi merupakan oleh karena penglihatan pengertian itu memerlukan intuisi.
Seakan-akan orang harus merasa di mana ia sebaiknya menggunakan kekuatan yang
tersedia. Disamping strategi merupakan seni, lambat laun ia juga merupakan ilmu
pengetahuan.
Lambat laun strategi yang tadinya
hanya di gunakan dalam bidang militer, memperoleh perhatian pula dari bidang
lain. Strategi pada dasarnya merupakan suatu rangkaian kerangka rencana
dantindakan yang disusun dan disiapkan dalam suatu rangkaiyan pentahapan yang
masing-masing merupakan jawaban yang optimal terhadap tantangan baru yang
mungkin terjadi sebagai akibat dari langkah sebelumnya, dan kesluruhan proses
ini terjadi dalam suatu arah tujuan yang ditetapkan sebelumnya.
Startegi nasional adalah seni dan
ilmu mengembangkan dan menggunakan kekuatan nasional dalam masa damai maupun
masa perang untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan politik
nasional.
Dalam rangka nasional, maka strategi
nasional merupakan pelaksanaan dari kebijakan nasional, atau dengan kata lain,
strategi adalah politik dalam pelaksanaan. Dengan demikian maka strategi
nasional sebagai rencana dan pelaksanaan harus kenyal, dinamis, disesuaikan
dengan kondisi, situasi dan kemampuan disamping nilai seni.
politik merupakan suatu proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan,
khususnya dalam negara. Pengertian ini
merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal
dalam ilmu politik.
Politik nasional menggariskan usaha-usaha untuk
mencapai tujuan nasional
yang dalam perumusannya dibagi dalam tahap-tahap utama, yaitu jangka
panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Politik nasional meliputi:
- Politik dalam negeri, yang diarahkan untuk mengangkat, meninggikan, dan memelihara harkat dan derajat dan potensi rakyat Indonesia yang pernah mengalami kehinaan dan kemelaratan akibat penjajahan menuju sifat-sifat bangsa yang terhormat, dan dapat dibanggakan.
- Politik luar negeri yang bersifat bebas aktif anti imperialism dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat serta diarahkan kepada pembentukan solidaritas antar bangsa terutama bangsa Asia-Afrika dan Negara-negara non Aligned.
- Politik ekonomi yang bersifat swasembada /swadaya dengan tidak berarti mengisolasi diri, tetapi diarahkan kepada peningkatan taraf hidup dan daya kreasi rakyat Indonesia sebesar-besarnya.
- Politik pertahanan keamanan, yang bersifat defensive aktif dan diarahkan kepada pengamanan serta perlindungan bangsa dan Negara serta usaha-usaha nasional dan penanggulangan segala macam tantangan, ancaman, dan hambatan.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
SISTEM KONSTITUSI
1.1
PENGERTIAN KONSTITUSI
Kata
“Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer”
(Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian
konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan
perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu
berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia
menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.
Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the the operation of an organization” Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the the operation of an organization” Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Dahulu
konstitusi digunakan sebagai penunjuk hukum penting biasanya dikeluarkan oleh
kaisar atau raja dan digunakan secara luas dalam hukum kanon untuk menandakan
keputusan subsitusi tertentu terutama dari Paus. Konstitusi pada umumnya
bersifat kondifaksi yaitu sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk
menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini,
konstitusi harus diartikan dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis
(formal). Namun menurut para ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi
harus diterjemahkan termasuk kesepakatan politik, negara, kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijakan dan distibusi maupun alokasi Konstitusi bagi organisasi
pemerintahan negara yang dimaksud terdapat beragam bentuk dan kompleksitas
strukturnya, terdapat konstitusi politik atau hukum akan tetapi mengandung pula
arti konstitusi ekonomi.
Konstitusi
memuat aturan-aturan pokok (fundamental) yang menopang berdirinya suatu negara.
Terdapat dua jenis kontitusi, yaitu konstitusi tertulis (Written Constitution)
dan konstitusi tidak tertulis (Unwritten Constitution). Ini diartikan seperti
halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan
“Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam
karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua
negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.
Di beberapa negara terdapat dokumen yang menyerupai konstitusi, namun oleh negara tersebut tidak disebut sebagai konstitusi. Dalam buku yang berjudul The Law and The Constitution, Ivor Jenning menyebutkan di dalam dokumen konstitusi tertulis yang dianut oleh negara-negara tertentu mengatur tentang:
1. Adanya wewenang dan tata cara bekerja suatu lembaga kenegaraan.
2. Adanya ketentuan hak asasi yang dimiliki oleh warga negara yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah.
Di beberapa negara terdapat dokumen yang menyerupai konstitusi, namun oleh negara tersebut tidak disebut sebagai konstitusi. Dalam buku yang berjudul The Law and The Constitution, Ivor Jenning menyebutkan di dalam dokumen konstitusi tertulis yang dianut oleh negara-negara tertentu mengatur tentang:
1. Adanya wewenang dan tata cara bekerja suatu lembaga kenegaraan.
2. Adanya ketentuan hak asasi yang dimiliki oleh warga negara yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah.
Tidak
semua lembaga-lembaga pemerintahan dapat diatur dalam poin 1 dan tidak semua
hak-hak warga negara diatur dalam poin 2. Seperti halnya di negara Inggris.
Dokumen-dokumen yang tertulis hanya mengatur beberapa lembaga negara dan
beberapa hak asasi yang dimiliki oleh rakyat, satu dokumen dengan dokumen lainya
tidak sama. Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat
pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian
Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal,
Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di
Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah
Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal,
Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal.
1.2
TUJUAN KONSTITUSI
Pada umumnya hukum bertujuan
untuk mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan
konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum
tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara
adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan
tujuan konstitusi itu sendiri.
Konstitusi juga memiliki tujuan yang hampir sama deengan hukum, namun tujuan dari konstitusi lebih terkait dengan:
Konstitusi juga memiliki tujuan yang hampir sama deengan hukum, namun tujuan dari konstitusi lebih terkait dengan:
1. Berbagai lembaga-lembaga
kenegaraan dengan wewenang dan tugasnya masing-masing.
2. Hubungan antar lembaga Negara
3. Hubungan antar lembaga
negara(pemerintah) dengan warga negara (rakyat).
4. Adanya jaminan atas hak asasi
manusia
5. Hal-hal lain yang sifatnya
mendasar sesuai dengan tuntutan jaman.
Semakin banyak pasal-pasal yang
terdapat di dalam suatu konstitusi tidak menjamin bahwa konstitusi tersebut baik.
Di dalam praktekna, banyak negara yang memiliki lembaga-lembaga yang tidak
tercantum di dalam konstitusi namun memiliki peranan yang tidak kalah penting
dengan lembaga-lembaga yang terdapat di dalam konstitusi. Bahkan terdapat
hak-hak asasi manusia yang diatur diluar konstitusi mendapat perlindungan lebih
baik dibandingkan dengan yang diatur di dalam konstitusi.
Dengan demikian banyak negara
yang memiliki aturan-aturan tertulis di luar konstitusi yang memiliki kekuatan
yang sama denga pasal-pasal yang terdapat pada konstitusi. Konstitusi selalu
terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Constitutionalism
is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed
on parchment to keep a government in order. Untuk tujuan to keep a government
in order itu diperlukan pengaturan yang sede-mikian rupa, sehingga dinamika
kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana
mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekua-saan ini secara alamiah muncul
karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan
umum dalam kehidupan umat manusia.
1.3
KLASIFIKASI KONSTITUSI
Hampir semua negara memiliki
kostitusi, namun antara negara satu dengan negara lainya tentu memiliki perbeadaan
dan persamaan. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi
yang berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi
kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara
lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya. Dalam buku K.C.
Wheare “Modern Constitution” (1975) mengklasifikasi konstitusi sebagai berikut:
a. Konstitusi tertulis dan
konstitusi tidak tertulis (written constitution and unwritten constitution)
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)
Konstitusi fleksibelitas
merupakan konstitusi yang memiliki ciri-ciri pokok:
1. Sifat elastis, artinya dapat
disesuaikan dengan mudah .
2. Dinyatakan dan dilakukan
perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-undang.
c. Konstitusi derajat tinggi dan
konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not supreme constitution).
Konstitusi derajat tinggi,
konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara (tingkatan peraturan
perundang-undangan). Konstitusi tidak derajat tinggi adalah konstitusi yang
tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama.
d. Konstitusi Negara Serikat dan
Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution)
Bentuk negara akan sangat
menentukan konstitusi negara yang bersangkutan. Dalam suatu negara serikat
terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah federal (Pusat) dengan
negara-negara bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian
kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan, karena
pada dasarnya semua kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat.
e. Konstitusi Pemerintahan
Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and
Parliamentary Executive Constitution).
Dalam sistem pemerintahan
presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:
1. Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.
1. Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.
2. Presiden dipilih langsung oleh
rakyat atau dewan pemilih.
3. Presiden tidak termasuk pemegang
kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum.
Berlakunya suatu konstitusi
sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau
prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut
paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat.
Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan
berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli
sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan
sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan
negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu
konstitusi.
Constituent power mendahului
konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan
dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian constituent power berkaitan pula
dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum
yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya,
karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan
otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan
lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar
peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat
berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan
dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Dengan ciri-ciri konstitusi yang
disebutkan oleh Wheare ” Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan
Parlementer (President Executive and Parliamentary Executive Constitution)”,
oleh Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) tidak termasuk kedalam
golongan konstitusi Pemerintahan Presidensial maupun pemerintahan Parlementer .
Hal ini dikarenakan di dalam tubuh UUD 45 mengndung ciri-ciri pemerintahan
presidensial dan ciri-ciri pemerintahan parlementer. Oleh sebab itu menurut Sri
Soemantri di Indonesia menganut sistem konstitusi campuran.
II.
SISTEM
POLITIK DAN KETATANEGARAAN INDONESIA
2.1 SEJARAH
KETATANEGARAAN INDONESIA
Sehari
setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia
mengesahkan Konstitusi pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
Undang-Undang Dasar
Negra Indonesia dikenal naskah yang singkat dan supel yang memuat hal-hal yang
pokok saja sedangkan didalam melaksanakan aturan yang pokok tersebut diserahkan
kepada Undang-Undang yang lebih rendah. Sejak pertama kali kita menyatakan
bernegara republik Indonesia, kita sudah memulai dengan tidak melaksanakan
pasal-pasal dari UUD. Pasal-pasal yang kita gunakan ialah pasal peralihan.
Menurut UUD 1945, Pemerintahan Republik Indonesia di pimpin oleh presiden dan
di Bantu oleh seorang Wakil Presiden (pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)). Residen
kecuali sebagai kepala Negara ia juga sebagai kepala Pemerintahan.
Sistem pemerintahan
kita ialah Presidensil, dalam arti kepala Pemerintahan ialah Presiden, dan di
pihak lain ia tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya
kedudukan Presiden tidak bergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Alinea
Kedua Angka V, Penjelasan tentang UUD 1945).
Presiden dibantu oleh
Wakil Presiden dan juga menteti-menteri yang diangkat dan di berhentikan oleh
Presiden (pasal 17 ayat (1), (2), dan (3). Menteri-menteri tidak bertanggung
jawab dan tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung
kepada Prsiden (angka V Penjelasan UUD 1945).
Meskipun Wakil
Presiden dan Menteri-menteri sama-sama berkedudukan sebaga presiden, akan
tetapi sifatnya berbeda, yaitu; Pertama,
Wakil Presiden diangkat oleh MPR, sedangkan Menteri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Kedua,
Wakil Presiden bukan pembantu Kepala Pemerintahan, tetapi merupakan pembantu Kepala
Negara. Menteri-menteri adalah pembantu Kepala Pemerintahan (pasal 17 (3).
Ketiga, apabila Presiden berhalangan Wakil Presiden dapat menggantikan
Presiden, Menteri tidak biasa menggantikan presiden kecuali apabila dalam waktu
yang sama Wakil Presiden juga berhalangan (pasal 8 UUD 1945).
Meskipun tidak
bertanggung jawab terhadap DPR akan tetapi kekuasaan Presiden tidaklah tidak
terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Dewan Perweakilan Rakyat ialah kuat tidak bisa dibubarkan oleh
Presiden. Menteri-menteri hanya menjalankan pouvoir executf (kekuasaan pemerintahan) dalam praktiknya.
Sebagai pemimpim
departemen menteri mengetahui seluk beluk hal mengenai lingkungan pekerjaanya.
Menteri mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan politik Negara melalui
departemennya. Pada masa awal pemerintahan, kekeuasaan Presiden dalam
menjalankan kekuasaanya bukan hanya sekadar berdasrkan pasal 4, 5, 10, 11, 12,
13, 14, dan 15 UUD 1945, tetapi juga berdasrkan pasal IV aturan peralihan yang
berbunyi “ sebelum Majelis PermusyawaratanRakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Pertimbangan agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh presiden di Bantu oleh KOmite Nasional”. Presiden juga
mempunyai tugas-tugas sebagai berikut.
Majelis
Perusyawaratan Rakyat :
- Menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3)
- Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Pasal 3)
- Mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 37)
- Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2))mengangkat sumpah Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 9)
- Pelaksana kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2))
Dewan
Perwakilan Rakyat :
- Memajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 1 ayat (2))
- Mengesahkan Anggaran Keuangan Pemerintah (Pasal 23 ayat (1))
Dewan
Pertimbangan Agung :
- Memeberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah (Pasal 6 ayat (1) dan (2)).
Berdasarkan
ketentuan ayat IV Aturan Peralihan tersebut, Presiden memilki kekuasaaan yang
besar, Presiden memegang kekuasaan Pemerintah dalam arti yang luas. Dalam
melaksanakan tugasnya Presiden hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Akibatnya Presiden dengan sah dapat bertidak dictator karena bantuan Komite
Nasional sama sekali tidak bisa dianggap merupakan pengekangan terhadap
kekuasaanya. Kekuasaan luar biasa Presiden menurut UUD 1945 akan berlangsung
sampai terbentuknya MPR, DPR, dan DPA. Selam lembaga tersebut terbentuk,
kekuasaan Presiden adalah mutlak.
Pada 29 Agustus 1945
PPKI telah dibubarkan oleh pesiden dan sebagai gantinya dibentuk Komisi
Nasional Pusat (KNIP). Badan ini walupun keberadaannya mutlak menurut Aturan
Peralihan pasal IV akan , tugasnya hanya sekedar pembantu Presiden dalm bidang
yang dikehendaki. Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa semenjak di ciptakan
perkembangan UUD 1945 telah mengalami perkembangan yang amat pesat.dua bulan
dalam masa perjalanan UUD 1945, terjadi perubahan praktik ketatanegaraan,
khususnya perubahan tehadap Aturan Peralihan Pasal IV, dengandikeluarkannya
Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang menetapkan sebagai berikut:
“Komite Nasional Pusat, sebelum
terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat
diserahi kekuasaan Legislatif dan ikut serta menentukan garis-garis besar
daripada haluan Negara”. “bahwa pekerjaan Komitr Nasional Pusat sehari-hari
berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang
dipilihantara mereka serta bertanggung jawb kepada Komite Nasional Pusat”.
Apabila kita lihat
dari ketentuan-ketentuan diatas, terdapat tiga hal yang penting, yaitu:
1.Komite Nasional
Pusat menjadi lembaga legislative.
2.Komite Nasional
Pusat ikut menetapkan garis-garis besar haluan Negara.
3.Ia membetuk Badan
Pekerja yang akan bertanggung jawab kepada Komit Nasional Pusat.
Tugas legislatif yang diserahkan
kepada Komite Nasional yang dimaksud, hanyalah dalam bidang pembuatan undang-undang,
baik pasif maupun aktif. Tidak termasuk didalamnya hak mengontrol dan mengawasi
pemerintah. Tugas itu langsung ada pada Presiden sendiri, sesuai dengan Pasal
IV Aturan Peralihan. Berdasarkan semua itu, menurut Tolchah Mansoer, sebenarnya
dengan Maklumat No.X belumlah terjadi sesuatu yang fundamental dalam hubungan
ketatanegaraan sebab langkah-langkah itu diambil masih dalam batas-batas Pasal
IV Aturan Peralihan. Tentang bidang legislative, kalau tadinya Presiden
mengerjakan nya dengan bantuan Komite Nasional, sekarang tugas itu oleh
Presiden hendak diserahkan kepada Komite Nasional, artinya peranan bantuan itu
didalam bidang legislative hendak diperbesar.
Kekuasaan Presiden, menuut A.K.
Pringgodigdo, dikatakan dictatorial. Dengan adanya maklumat tersebut Presiden
yang tadinya memiliki kekuasaan mutlak maka harus dibagi dengan komite nasional
pada tnggal 16 oktober 1945. Untuk
menghindari kesalah pahaman terhadap status dan fungsi Badan Pekerja KNIP
tersebut, pada 20 Oktober 1945 dikeluarkanlah penjelasan dri Badan Pekerja, yang
menyatakan sebagai berikut :
1. Turut menetapkan garis-garis
besar haluan Negara
Ini berarti bahwa Badan Pekerja
bersama-sama dengan Presiden menetapkan garis-garis besar haluan negara. Badan
Pekerja tidak berhak campur dalam kebijaksanaan (dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Ini tetap ditangan
Presiden semata-mata.
2. Menetapkan bersama-sama dengan
Presiden undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintah…”
Perubahan kedua yang terjadi
dalam penyelenggaraan Negara ialah dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah
tanggal 14 November 1946. Maklumat Pemeritah ini, sebenarnya adalah suatu
tindakan yang maksudnya akan mengadakan pembaruan terhadap susunan cabinet yang
ada. Dengan Maklumat ini, diumumkanlah nama-nama dari mentri-mentri dalam
susunan kabinet yang baru. Semula cabinet ialah dibawah pimpinan Presiden akan
tetapi stelah terbitnya maklumat tersebut kemudian menjadi dewan yang diketuai
oleh perdanamentri yang dipimpin oleh Sutan Syahrir. Dalam hal yang terpenting menurut Joeniarto,
di Indonesia telah terjadi konstelasi ketatanegaraan. Jika semula UUD menganut
sisim presidensil dengan maklumat tersebut prinsip pertanggung jawaban mentri
dengan resmi diakui. Terjadi pergeseran kekuasaan eksekutif yang semula mentri
bertanggungjawab kepada presiden sekarang terhadap perdana mentri.
Dengan dikeluarkannya maklumat
pemerintah tersebut bergeserlah kekuasaan presiden dan mengubah sistim
ketatanegaraan yang tadinya presidensil menjadi parlementer. Perlu dikaji apa
dasar hokum kedua maklumat tersebut. Mengenai
perkembangan konstitusi tersebut menurut K.C. Wheare: “Many important changes
in the working of a constitution occur without any alteration in the rules of
custom and convention.” Dalam hubungan dengan UUD 1945 prnyataan ini adalah
benar. Perubahan yang radikal telah terjadi tanpa suatu amandemen pada teks
dari UUD sendiri.
Terhadap perkembangan
ketatanegaraan Indonsia setelah lahirnya Maklumat Wakil Presiden No. X,
sebenarnya belumlah terjadi perubahan yang fundamental karena maklumat itu
hanya penegasan terhadap pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Hal ini sebenarnya
tidak diatur didalam UUD 1945. Jadi, sebenarnya pertanggungjawaban Menti Negara
kepada perdana mentri merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945 (Pasal 17 ). Hal
ini seharisnya tidak dapat terjadi tanpa melakukan perubahan terlebih dahulu
terhadap Pasal 17 UUD 1945. Sampai saat
ini terjadi perdebatan dikalangan akademisi entang dasar hokum maklumat
tersebut. Diantaranya, Ismail Suny berpendapat bahwa dasar hukumMaklumat
tersebut adalah kebiasaan atau “convention”. Dengan cara kebiasaan politik itu
maka pengaturan tanggungjawab mentri dapat pula ditimbulkan dinegri kita. Lebih
lanjut suny mengatakan sebagai berikut.
Apabila convention itu terjadi,
tentulah bentuk dan cara kerja tanggungjawab mentri itu akan bersifat
sementara. Jadi, sebenarnya segala sifat sementara itu baru dapat hilang kalau
DPR dan MPR telah dibentuk oleh seluruh rakyat Indonesia dengan pemilihan
umum.”Maka dari itu, segala perubahan pada masa sekarang yang bermaksud
menyempurnbakan susunan Negara Republik Indonesia walaupun kelihatannya
bertentnggan dengan UUD pantas kita sambut dengan tenang hati. Sementara Assat
mempertahankan bahwa, perbuatan Badn Pekerja itu dibenarkan Oleh Komite
Nasional Pusat pada sidang III dengan persetujuan Presiden maka kekeuatannya
sama dengan Undang-Undang.
Tetapi pertanyaan tersebut
mnimbulkan keganjilan karena pada saat itu kita telah memilik UUD, mengapa
persetujuan tersebut tidak di atur dalaam perundangan sebgaiman telah
diamanatkan oleh UUD 1945. Istilah maklumat selain tidak dikkenal dalam UUD
1945 serta kedudukannya tidak jelas apakah lebih tinggi dari UUd atau lebih
rendah. Jika lebih rendah ia tidak bias menagtur muatan materi yang terdapat
dalam UUD dan mengubahnya dan jika lebih tinggi, tidak mungkin karena
perundang-undangan terttinggi pada waktu itu ialah UUD 1945.
M. Yamin berpendapat bahwa
kementerian yang bertanggunga jawab tidak sesuai dengan UUD 1945 bahkan
berlawanan dengan pasal 17 UUD 1945. A.K Pringgidigdo mengomentari Assat bahwa
ketentuan tersebut tidak benar dengan mendasar pada convention sebagai aturan
abru yang sengaja diadakan. Sementara UUD telah mengatur cara-cara penbuatan
Undang-Undang melalui ketentuyan pasal 37. jika memang hal tersebut tidak
diatur maka convention dapat dibenarkan, tetapi kalau ada dalam UUD maka hal
itu menyalahi aturan. Jika hal ini dibiarkan maka UUD hanya dianggap sekadar
pelengkap, bias di kesampingkan dengan aturan lain.. perubahan sesungguhnya
harus dilakukan oleh MPR sebagaiman telah digariskan UUD.
Sesungguhnya dengan lahirnya
Maklumat tesebut telah terjadi perubahan terhadap pasal 17 UUD 1945, tanpa
melalui prosedur perubahan menurut pasal 37 UUD 1945.perubahan tersebut tidak
diatur dalam UUD akan tetapi dengan jalan istimewa seperti revolusi, coup
d’etat, convention dan sebagainya. Hal ini dalikukan karena pada saat itu
keadaan dalam kondisi darurat. Artinya, lembaa yang seharusnya dibentuk belun
ada.
Dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia ada empat macam Undang-Undang yang pernah berlaku, yaitu: (1).UUD
1945, yang berlaku antar 17 Agustus 1945-27 Desember 1939
(2) Konstitusi Republik Indonesia
Serikat
(3) UUDS 1950, yang berlaku pada
17 Agustus 1950-5 Juli 1959
(4) UUD 1945, yang berlaku
setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli.
Dalam keempat periode tersebut,
UUD 1945 berlaku selama dua kali. Pertama diundangkan dalan Berita Republik
Indonesia Tahun II No. 7. kedua, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1945.
Perkembangan ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi dengan UUD dan Pancasila
sebagai Falsafah Negara tidak berjalan dengan mulus karena Beland selalu ingin
menancapkan kembali kekuasaannya.
Berbagai pengalaman pahit telah
dialami bagngsa Indonesia, Belanda terus mencecar dengan memaksakan agar
mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia telah runtuh, kedaulatan telah hancur.
Mereka juga secara terus menerus membuat “Negara” di tubur RI yang diakui
secara defacto dngan persetujuan Linggarjati.
Pada tanggal 2 November 1949
diadakan Konferensi Meja Bundar kemudian dilakukan pengesahan pda tanggal 27
Desember 1949 tentang penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia. Dalam KMB
terdapat tiga kesepakatan yaitu:
Mendirikan Republik Indonesia
Serikat Penyerahan Kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal, yaitu;
(a)piagam penyerahan kedaulatan
dari kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS
(b) Status uni
(c) persetujuan perpindahan mendirikan uni
antar Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda
2.2 DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN
UUD 1945
- Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
- Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
- UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
- UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
- Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara
belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang
kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat,
penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang
bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan
Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.
2.3 HIERARKI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:
- UUD 1945
- TAP MPR
- UU/PERPU
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri
Menurut TAP MPR III Tahun 2000:
- UUD 1945
- TAP MPR
- UU
- PERPU
- PP
- Keputusan Presiden
- Peraturan Daerah
Menurut UU No. 10 Tahun 2004:
- UUD 1945
- UU/PERPU
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah
2.4
KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945
- Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
- Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
- Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
- Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
- Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.
BAB IV
KESIMPULAN
Negara pada hakikatnya adalah
suatu sistem, yang terdiri dari berbagai sub sistem yang merupakan prasyarat
bagi keberfungsian dan keberlangsungan negara. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa konsep negara adalah sistem yang statis (ajeg, dalam pengertian tidak
berubah-ubah atau tidak akan dirubah) , sementara sub sistem dalam negara
tersebut konsep yang dinamis, berkembang dan berubah-ubah. Mengingat hal
tersebut, maka keberadaan pemerintah (organisasi maupun produk hukum yang
dihasilkan), harus selalu disempurnakan sesuai dengan perkembangan masyarakat
(dalam dan luar negeri).
Sebab sub sistem pemerintahan dan
ketatanegaraan yang statis, akan membawa dampak kepada kemandegan kesejahteraan
masyarakat sebagai sub sistem lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
uraian mengenai Sistem Ketatanegaraa RI sebagaimana dipaparkan diatas, bukanlah
suatu doktrin mati yang harus ditaati secara taklid (membuta), tetapi justru
harus disikapi dengan analisa yang tajam dan kritis, sehingga eksistensi
pemerintah benarbenar dapat diterima dan sekaligus mencerminkan kepentingan
masyarakat seluruhnya. Ini berarti pula bahwa dalam melihat realitas negara dan
pemerintah di Indonesia dengan segala kompleksitasnya, pemikiran reformatif
yang konstruktif harus dikedepankan sebagai panglima.
DAFTAR
PUSTAKA
http://panmohamadfaiz.com/2007/03/18/sistem-ketatanegaraan-indonesia-pasca-amandemen/
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
POLITIK
DAN STRATEGI
NAMA : TIYARA ENGGAR P.S
NPM : 16210921
KELAS : 2EA08
FAKULTAS :
EKONOMI
JURUSAN : S1 MANAJEMEN
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur saya panjatkan kepada ALLAH S.W.T karena atas limpahan rahmat dan
karunianya serta atas kehendaknya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah
ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh bapak Burhanudin.
Makalah ini diperoleh dari informasi
media massa yang berhubungan dengan pengertian “POLITIK dan STRATEGI”. Materi
ini bertujuan agar mahasiswa sebagai kalangan inteektual dan masyarakat
mengerti tentang system ketatanegaraan Indonesia. Tak lupa saya ucapkan terima
kasih kepada dosen pengajar atas bimbingan dan arahannya. Juga kepada
rekan-rekan yang telah mendukung saya hingga terselesaikannya makalah ini.
Saya harap dengan membaca makalah
ini dapat memberi manfaat bagi kita semua dalam hal menambah wawasan tentang
Bangsa dan Negara dan kewarganegaraannya. Memang makalah ini masih jauh dari
hasil yang baik maka dari itu saya membututuhkan kritik dan saran yang
mendukung agar menuju kearah yang lebih baik.
Depok,
April 2012
PENULIS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
………………………………………………………………………….….…... 2
DAFTAR ISI
………………………………………………………………………………………….… 3
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………….. 4-5
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………… 6-17
I.
SISTEM
KONSTITUSI………………………………………………………...….. 6-10
1.1 Pengertian Konstitusi
……………………………………………………………..…….. 6-7
1.2 Tujuan Konstitusi
……………………………………………………………….….…… 7-8
1.3 Klasifikasi Konstitusi
…………………………………………………………………... 8-10
II.
SISTEM
POLITIK DAN KETATANEGARAAN INDONESIA ………………. 10-17
2.1 Sejarah Ketatanegaraan Indonesia …………………………………………………...….
10
2.2 Dasar Pemikiran dan Latar Belakang
Perubahan UUD 1945 …………………….……. 15
2.3 Hierarki Peraturan Perundang-undangan
……………………………………….….….... 16
2.4 Kesepakatan Panitia AD HOC tentang
Perubahan UUD 1945 …………………...…… 17
BAB III KEIMPULAN ……………………………………………………………..…….…… 18
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………
19
2.5
BAB I
PENDAHULUAN
Strategi berasal dari kata yunani strategis yang artinya the
art of the general.
Antoine Henri Jomini (1779-1869) dan
Karl Von Clausewitz secara ilmiah Jomini memberikan pengertian yang bersifat
deskriptif. Ia katakan bahwa strategi adalah seni menyelenggarakan perang
diatas peta dan meliputi seluruh wawasan operasi, sedangkan Clausewitz dengan
tegas membedakan politik dan strategi.
Dalam abad modern sekarang ini arti
strategi tidak lagi terbatas pada konsep ataupun seni seorang pangliman di masa
perang tetapi sudah berkembang den menjadi tanggung jawab seorang pemimpin.
Strategi merupakan oleh karena penglihatan pengertian itu memerlukan intuisi.
Seakan-akan orang harus merasa di mana ia sebaiknya menggunakan kekuatan yang
tersedia. Disamping strategi merupakan seni, lambat laun ia juga merupakan ilmu
pengetahuan.
Lambat laun strategi yang tadinya
hanya di gunakan dalam bidang militer, memperoleh perhatian pula dari bidang
lain. Strategi pada dasarnya merupakan suatu rangkaian kerangka rencana
dantindakan yang disusun dan disiapkan dalam suatu rangkaiyan pentahapan yang
masing-masing merupakan jawaban yang optimal terhadap tantangan baru yang
mungkin terjadi sebagai akibat dari langkah sebelumnya, dan kesluruhan proses
ini terjadi dalam suatu arah tujuan yang ditetapkan sebelumnya.
Startegi nasional adalah seni dan
ilmu mengembangkan dan menggunakan kekuatan nasional dalam masa damai maupun
masa perang untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan politik
nasional.
Dalam rangka nasional, maka strategi
nasional merupakan pelaksanaan dari kebijakan nasional, atau dengan kata lain,
strategi adalah politik dalam pelaksanaan. Dengan demikian maka strategi
nasional sebagai rencana dan pelaksanaan harus kenyal, dinamis, disesuaikan
dengan kondisi, situasi dan kemampuan disamping nilai seni.
politik merupakan suatu proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan,
khususnya dalam negara. Pengertian ini
merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal
dalam ilmu politik.
Politik nasional menggariskan usaha-usaha untuk
mencapai tujuan nasional
yang dalam perumusannya dibagi dalam tahap-tahap utama, yaitu jangka
panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Politik nasional meliputi:
- Politik dalam negeri, yang diarahkan untuk mengangkat, meninggikan, dan memelihara harkat dan derajat dan potensi rakyat Indonesia yang pernah mengalami kehinaan dan kemelaratan akibat penjajahan menuju sifat-sifat bangsa yang terhormat, dan dapat dibanggakan.
- Politik luar negeri yang bersifat bebas aktif anti imperialism dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat serta diarahkan kepada pembentukan solidaritas antar bangsa terutama bangsa Asia-Afrika dan Negara-negara non Aligned.
- Politik ekonomi yang bersifat swasembada /swadaya dengan tidak berarti mengisolasi diri, tetapi diarahkan kepada peningkatan taraf hidup dan daya kreasi rakyat Indonesia sebesar-besarnya.
- Politik pertahanan keamanan, yang bersifat defensive aktif dan diarahkan kepada pengamanan serta perlindungan bangsa dan Negara serta usaha-usaha nasional dan penanggulangan segala macam tantangan, ancaman, dan hambatan.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
SISTEM KONSTITUSI
1.1
PENGERTIAN KONSTITUSI
Kata
“Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer”
(Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian
konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan
perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu
berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia
menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.
Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the the operation of an organization” Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the the operation of an organization” Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Dahulu
konstitusi digunakan sebagai penunjuk hukum penting biasanya dikeluarkan oleh
kaisar atau raja dan digunakan secara luas dalam hukum kanon untuk menandakan
keputusan subsitusi tertentu terutama dari Paus. Konstitusi pada umumnya
bersifat kondifaksi yaitu sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk
menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini,
konstitusi harus diartikan dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis
(formal). Namun menurut para ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi
harus diterjemahkan termasuk kesepakatan politik, negara, kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijakan dan distibusi maupun alokasi Konstitusi bagi organisasi
pemerintahan negara yang dimaksud terdapat beragam bentuk dan kompleksitas
strukturnya, terdapat konstitusi politik atau hukum akan tetapi mengandung pula
arti konstitusi ekonomi.
Konstitusi
memuat aturan-aturan pokok (fundamental) yang menopang berdirinya suatu negara.
Terdapat dua jenis kontitusi, yaitu konstitusi tertulis (Written Constitution)
dan konstitusi tidak tertulis (Unwritten Constitution). Ini diartikan seperti
halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan
“Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam
karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua
negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.
Di beberapa negara terdapat dokumen yang menyerupai konstitusi, namun oleh negara tersebut tidak disebut sebagai konstitusi. Dalam buku yang berjudul The Law and The Constitution, Ivor Jenning menyebutkan di dalam dokumen konstitusi tertulis yang dianut oleh negara-negara tertentu mengatur tentang:
1. Adanya wewenang dan tata cara bekerja suatu lembaga kenegaraan.
2. Adanya ketentuan hak asasi yang dimiliki oleh warga negara yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah.
Di beberapa negara terdapat dokumen yang menyerupai konstitusi, namun oleh negara tersebut tidak disebut sebagai konstitusi. Dalam buku yang berjudul The Law and The Constitution, Ivor Jenning menyebutkan di dalam dokumen konstitusi tertulis yang dianut oleh negara-negara tertentu mengatur tentang:
1. Adanya wewenang dan tata cara bekerja suatu lembaga kenegaraan.
2. Adanya ketentuan hak asasi yang dimiliki oleh warga negara yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah.
Tidak
semua lembaga-lembaga pemerintahan dapat diatur dalam poin 1 dan tidak semua
hak-hak warga negara diatur dalam poin 2. Seperti halnya di negara Inggris.
Dokumen-dokumen yang tertulis hanya mengatur beberapa lembaga negara dan
beberapa hak asasi yang dimiliki oleh rakyat, satu dokumen dengan dokumen lainya
tidak sama. Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat
pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian
Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal,
Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di
Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah
Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal,
Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal.
1.2
TUJUAN KONSTITUSI
Pada umumnya hukum bertujuan
untuk mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan
konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum
tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara
adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan
tujuan konstitusi itu sendiri.
Konstitusi juga memiliki tujuan yang hampir sama deengan hukum, namun tujuan dari konstitusi lebih terkait dengan:
Konstitusi juga memiliki tujuan yang hampir sama deengan hukum, namun tujuan dari konstitusi lebih terkait dengan:
1. Berbagai lembaga-lembaga
kenegaraan dengan wewenang dan tugasnya masing-masing.
2. Hubungan antar lembaga Negara
3. Hubungan antar lembaga
negara(pemerintah) dengan warga negara (rakyat).
4. Adanya jaminan atas hak asasi
manusia
5. Hal-hal lain yang sifatnya
mendasar sesuai dengan tuntutan jaman.
Semakin banyak pasal-pasal yang
terdapat di dalam suatu konstitusi tidak menjamin bahwa konstitusi tersebut baik.
Di dalam praktekna, banyak negara yang memiliki lembaga-lembaga yang tidak
tercantum di dalam konstitusi namun memiliki peranan yang tidak kalah penting
dengan lembaga-lembaga yang terdapat di dalam konstitusi. Bahkan terdapat
hak-hak asasi manusia yang diatur diluar konstitusi mendapat perlindungan lebih
baik dibandingkan dengan yang diatur di dalam konstitusi.
Dengan demikian banyak negara
yang memiliki aturan-aturan tertulis di luar konstitusi yang memiliki kekuatan
yang sama denga pasal-pasal yang terdapat pada konstitusi. Konstitusi selalu
terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Constitutionalism
is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed
on parchment to keep a government in order. Untuk tujuan to keep a government
in order itu diperlukan pengaturan yang sede-mikian rupa, sehingga dinamika
kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana
mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekua-saan ini secara alamiah muncul
karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan
umum dalam kehidupan umat manusia.
1.3
KLASIFIKASI KONSTITUSI
Hampir semua negara memiliki
kostitusi, namun antara negara satu dengan negara lainya tentu memiliki perbeadaan
dan persamaan. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi
yang berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi
kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara
lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya. Dalam buku K.C.
Wheare “Modern Constitution” (1975) mengklasifikasi konstitusi sebagai berikut:
a. Konstitusi tertulis dan
konstitusi tidak tertulis (written constitution and unwritten constitution)
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)
Konstitusi fleksibelitas
merupakan konstitusi yang memiliki ciri-ciri pokok:
1. Sifat elastis, artinya dapat
disesuaikan dengan mudah .
2. Dinyatakan dan dilakukan
perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-undang.
c. Konstitusi derajat tinggi dan
konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not supreme constitution).
Konstitusi derajat tinggi,
konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara (tingkatan peraturan
perundang-undangan). Konstitusi tidak derajat tinggi adalah konstitusi yang
tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama.
d. Konstitusi Negara Serikat dan
Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution)
Bentuk negara akan sangat
menentukan konstitusi negara yang bersangkutan. Dalam suatu negara serikat
terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah federal (Pusat) dengan
negara-negara bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian
kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan, karena
pada dasarnya semua kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat.
e. Konstitusi Pemerintahan
Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and
Parliamentary Executive Constitution).
Dalam sistem pemerintahan
presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:
1. Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.
1. Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.
2. Presiden dipilih langsung oleh
rakyat atau dewan pemilih.
3. Presiden tidak termasuk pemegang
kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum.
Berlakunya suatu konstitusi
sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau
prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut
paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat.
Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan
berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli
sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan
sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan
negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu
konstitusi.
Constituent power mendahului
konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan
dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian constituent power berkaitan pula
dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum
yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya,
karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan
otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan
lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar
peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat
berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan
dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Dengan ciri-ciri konstitusi yang
disebutkan oleh Wheare ” Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan
Parlementer (President Executive and Parliamentary Executive Constitution)”,
oleh Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) tidak termasuk kedalam
golongan konstitusi Pemerintahan Presidensial maupun pemerintahan Parlementer .
Hal ini dikarenakan di dalam tubuh UUD 45 mengndung ciri-ciri pemerintahan
presidensial dan ciri-ciri pemerintahan parlementer. Oleh sebab itu menurut Sri
Soemantri di Indonesia menganut sistem konstitusi campuran.
II.
SISTEM
POLITIK DAN KETATANEGARAAN INDONESIA
2.1 SEJARAH
KETATANEGARAAN INDONESIA
Sehari
setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia
mengesahkan Konstitusi pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
Undang-Undang Dasar
Negra Indonesia dikenal naskah yang singkat dan supel yang memuat hal-hal yang
pokok saja sedangkan didalam melaksanakan aturan yang pokok tersebut diserahkan
kepada Undang-Undang yang lebih rendah. Sejak pertama kali kita menyatakan
bernegara republik Indonesia, kita sudah memulai dengan tidak melaksanakan
pasal-pasal dari UUD. Pasal-pasal yang kita gunakan ialah pasal peralihan.
Menurut UUD 1945, Pemerintahan Republik Indonesia di pimpin oleh presiden dan
di Bantu oleh seorang Wakil Presiden (pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)). Residen
kecuali sebagai kepala Negara ia juga sebagai kepala Pemerintahan.
Sistem pemerintahan
kita ialah Presidensil, dalam arti kepala Pemerintahan ialah Presiden, dan di
pihak lain ia tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya
kedudukan Presiden tidak bergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Alinea
Kedua Angka V, Penjelasan tentang UUD 1945).
Presiden dibantu oleh
Wakil Presiden dan juga menteti-menteri yang diangkat dan di berhentikan oleh
Presiden (pasal 17 ayat (1), (2), dan (3). Menteri-menteri tidak bertanggung
jawab dan tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung
kepada Prsiden (angka V Penjelasan UUD 1945).
Meskipun Wakil
Presiden dan Menteri-menteri sama-sama berkedudukan sebaga presiden, akan
tetapi sifatnya berbeda, yaitu; Pertama,
Wakil Presiden diangkat oleh MPR, sedangkan Menteri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Kedua,
Wakil Presiden bukan pembantu Kepala Pemerintahan, tetapi merupakan pembantu Kepala
Negara. Menteri-menteri adalah pembantu Kepala Pemerintahan (pasal 17 (3).
Ketiga, apabila Presiden berhalangan Wakil Presiden dapat menggantikan
Presiden, Menteri tidak biasa menggantikan presiden kecuali apabila dalam waktu
yang sama Wakil Presiden juga berhalangan (pasal 8 UUD 1945).
Meskipun tidak
bertanggung jawab terhadap DPR akan tetapi kekuasaan Presiden tidaklah tidak
terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Dewan Perweakilan Rakyat ialah kuat tidak bisa dibubarkan oleh
Presiden. Menteri-menteri hanya menjalankan pouvoir executf (kekuasaan pemerintahan) dalam praktiknya.
Sebagai pemimpim
departemen menteri mengetahui seluk beluk hal mengenai lingkungan pekerjaanya.
Menteri mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan politik Negara melalui
departemennya. Pada masa awal pemerintahan, kekeuasaan Presiden dalam
menjalankan kekuasaanya bukan hanya sekadar berdasrkan pasal 4, 5, 10, 11, 12,
13, 14, dan 15 UUD 1945, tetapi juga berdasrkan pasal IV aturan peralihan yang
berbunyi “ sebelum Majelis PermusyawaratanRakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat
dan Dewan Pertimbangan agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh presiden di Bantu oleh KOmite Nasional”. Presiden juga
mempunyai tugas-tugas sebagai berikut.
Majelis
Perusyawaratan Rakyat :
- Menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3)
- Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Pasal 3)
- Mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 37)
- Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2))mengangkat sumpah Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 9)
- Pelaksana kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2))
Dewan
Perwakilan Rakyat :
- Memajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 1 ayat (2))
- Mengesahkan Anggaran Keuangan Pemerintah (Pasal 23 ayat (1))
Dewan
Pertimbangan Agung :
- Memeberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah (Pasal 6 ayat (1) dan (2)).
Berdasarkan
ketentuan ayat IV Aturan Peralihan tersebut, Presiden memilki kekuasaaan yang
besar, Presiden memegang kekuasaan Pemerintah dalam arti yang luas. Dalam
melaksanakan tugasnya Presiden hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Akibatnya Presiden dengan sah dapat bertidak dictator karena bantuan Komite
Nasional sama sekali tidak bisa dianggap merupakan pengekangan terhadap
kekuasaanya. Kekuasaan luar biasa Presiden menurut UUD 1945 akan berlangsung
sampai terbentuknya MPR, DPR, dan DPA. Selam lembaga tersebut terbentuk,
kekuasaan Presiden adalah mutlak.
Pada 29 Agustus 1945
PPKI telah dibubarkan oleh pesiden dan sebagai gantinya dibentuk Komisi
Nasional Pusat (KNIP). Badan ini walupun keberadaannya mutlak menurut Aturan
Peralihan pasal IV akan , tugasnya hanya sekedar pembantu Presiden dalm bidang
yang dikehendaki. Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa semenjak di ciptakan
perkembangan UUD 1945 telah mengalami perkembangan yang amat pesat.dua bulan
dalam masa perjalanan UUD 1945, terjadi perubahan praktik ketatanegaraan,
khususnya perubahan tehadap Aturan Peralihan Pasal IV, dengandikeluarkannya
Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang menetapkan sebagai berikut:
“Komite Nasional Pusat, sebelum
terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat
diserahi kekuasaan Legislatif dan ikut serta menentukan garis-garis besar
daripada haluan Negara”. “bahwa pekerjaan Komitr Nasional Pusat sehari-hari
berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang
dipilihantara mereka serta bertanggung jawb kepada Komite Nasional Pusat”.
Apabila kita lihat
dari ketentuan-ketentuan diatas, terdapat tiga hal yang penting, yaitu:
1.Komite Nasional
Pusat menjadi lembaga legislative.
2.Komite Nasional
Pusat ikut menetapkan garis-garis besar haluan Negara.
3.Ia membetuk Badan
Pekerja yang akan bertanggung jawab kepada Komit Nasional Pusat.
Tugas legislatif yang diserahkan
kepada Komite Nasional yang dimaksud, hanyalah dalam bidang pembuatan undang-undang,
baik pasif maupun aktif. Tidak termasuk didalamnya hak mengontrol dan mengawasi
pemerintah. Tugas itu langsung ada pada Presiden sendiri, sesuai dengan Pasal
IV Aturan Peralihan. Berdasarkan semua itu, menurut Tolchah Mansoer, sebenarnya
dengan Maklumat No.X belumlah terjadi sesuatu yang fundamental dalam hubungan
ketatanegaraan sebab langkah-langkah itu diambil masih dalam batas-batas Pasal
IV Aturan Peralihan. Tentang bidang legislative, kalau tadinya Presiden
mengerjakan nya dengan bantuan Komite Nasional, sekarang tugas itu oleh
Presiden hendak diserahkan kepada Komite Nasional, artinya peranan bantuan itu
didalam bidang legislative hendak diperbesar.
Kekuasaan Presiden, menuut A.K.
Pringgodigdo, dikatakan dictatorial. Dengan adanya maklumat tersebut Presiden
yang tadinya memiliki kekuasaan mutlak maka harus dibagi dengan komite nasional
pada tnggal 16 oktober 1945. Untuk
menghindari kesalah pahaman terhadap status dan fungsi Badan Pekerja KNIP
tersebut, pada 20 Oktober 1945 dikeluarkanlah penjelasan dri Badan Pekerja, yang
menyatakan sebagai berikut :
1. Turut menetapkan garis-garis
besar haluan Negara
Ini berarti bahwa Badan Pekerja
bersama-sama dengan Presiden menetapkan garis-garis besar haluan negara. Badan
Pekerja tidak berhak campur dalam kebijaksanaan (dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Ini tetap ditangan
Presiden semata-mata.
2. Menetapkan bersama-sama dengan
Presiden undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintah…”
Perubahan kedua yang terjadi
dalam penyelenggaraan Negara ialah dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah
tanggal 14 November 1946. Maklumat Pemeritah ini, sebenarnya adalah suatu
tindakan yang maksudnya akan mengadakan pembaruan terhadap susunan cabinet yang
ada. Dengan Maklumat ini, diumumkanlah nama-nama dari mentri-mentri dalam
susunan kabinet yang baru. Semula cabinet ialah dibawah pimpinan Presiden akan
tetapi stelah terbitnya maklumat tersebut kemudian menjadi dewan yang diketuai
oleh perdanamentri yang dipimpin oleh Sutan Syahrir. Dalam hal yang terpenting menurut Joeniarto,
di Indonesia telah terjadi konstelasi ketatanegaraan. Jika semula UUD menganut
sisim presidensil dengan maklumat tersebut prinsip pertanggung jawaban mentri
dengan resmi diakui. Terjadi pergeseran kekuasaan eksekutif yang semula mentri
bertanggungjawab kepada presiden sekarang terhadap perdana mentri.
Dengan dikeluarkannya maklumat
pemerintah tersebut bergeserlah kekuasaan presiden dan mengubah sistim
ketatanegaraan yang tadinya presidensil menjadi parlementer. Perlu dikaji apa
dasar hokum kedua maklumat tersebut. Mengenai
perkembangan konstitusi tersebut menurut K.C. Wheare: “Many important changes
in the working of a constitution occur without any alteration in the rules of
custom and convention.” Dalam hubungan dengan UUD 1945 prnyataan ini adalah
benar. Perubahan yang radikal telah terjadi tanpa suatu amandemen pada teks
dari UUD sendiri.
Terhadap perkembangan
ketatanegaraan Indonsia setelah lahirnya Maklumat Wakil Presiden No. X,
sebenarnya belumlah terjadi perubahan yang fundamental karena maklumat itu
hanya penegasan terhadap pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Hal ini sebenarnya
tidak diatur didalam UUD 1945. Jadi, sebenarnya pertanggungjawaban Menti Negara
kepada perdana mentri merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945 (Pasal 17 ). Hal
ini seharisnya tidak dapat terjadi tanpa melakukan perubahan terlebih dahulu
terhadap Pasal 17 UUD 1945. Sampai saat
ini terjadi perdebatan dikalangan akademisi entang dasar hokum maklumat
tersebut. Diantaranya, Ismail Suny berpendapat bahwa dasar hukumMaklumat
tersebut adalah kebiasaan atau “convention”. Dengan cara kebiasaan politik itu
maka pengaturan tanggungjawab mentri dapat pula ditimbulkan dinegri kita. Lebih
lanjut suny mengatakan sebagai berikut.
Apabila convention itu terjadi,
tentulah bentuk dan cara kerja tanggungjawab mentri itu akan bersifat
sementara. Jadi, sebenarnya segala sifat sementara itu baru dapat hilang kalau
DPR dan MPR telah dibentuk oleh seluruh rakyat Indonesia dengan pemilihan
umum.”Maka dari itu, segala perubahan pada masa sekarang yang bermaksud
menyempurnbakan susunan Negara Republik Indonesia walaupun kelihatannya
bertentnggan dengan UUD pantas kita sambut dengan tenang hati. Sementara Assat
mempertahankan bahwa, perbuatan Badn Pekerja itu dibenarkan Oleh Komite
Nasional Pusat pada sidang III dengan persetujuan Presiden maka kekeuatannya
sama dengan Undang-Undang.
Tetapi pertanyaan tersebut
mnimbulkan keganjilan karena pada saat itu kita telah memilik UUD, mengapa
persetujuan tersebut tidak di atur dalaam perundangan sebgaiman telah
diamanatkan oleh UUD 1945. Istilah maklumat selain tidak dikkenal dalam UUD
1945 serta kedudukannya tidak jelas apakah lebih tinggi dari UUd atau lebih
rendah. Jika lebih rendah ia tidak bias menagtur muatan materi yang terdapat
dalam UUD dan mengubahnya dan jika lebih tinggi, tidak mungkin karena
perundang-undangan terttinggi pada waktu itu ialah UUD 1945.
M. Yamin berpendapat bahwa
kementerian yang bertanggunga jawab tidak sesuai dengan UUD 1945 bahkan
berlawanan dengan pasal 17 UUD 1945. A.K Pringgidigdo mengomentari Assat bahwa
ketentuan tersebut tidak benar dengan mendasar pada convention sebagai aturan
abru yang sengaja diadakan. Sementara UUD telah mengatur cara-cara penbuatan
Undang-Undang melalui ketentuyan pasal 37. jika memang hal tersebut tidak
diatur maka convention dapat dibenarkan, tetapi kalau ada dalam UUD maka hal
itu menyalahi aturan. Jika hal ini dibiarkan maka UUD hanya dianggap sekadar
pelengkap, bias di kesampingkan dengan aturan lain.. perubahan sesungguhnya
harus dilakukan oleh MPR sebagaiman telah digariskan UUD.
Sesungguhnya dengan lahirnya
Maklumat tesebut telah terjadi perubahan terhadap pasal 17 UUD 1945, tanpa
melalui prosedur perubahan menurut pasal 37 UUD 1945.perubahan tersebut tidak
diatur dalam UUD akan tetapi dengan jalan istimewa seperti revolusi, coup
d’etat, convention dan sebagainya. Hal ini dalikukan karena pada saat itu
keadaan dalam kondisi darurat. Artinya, lembaa yang seharusnya dibentuk belun
ada.
Dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia ada empat macam Undang-Undang yang pernah berlaku, yaitu: (1).UUD
1945, yang berlaku antar 17 Agustus 1945-27 Desember 1939
(2) Konstitusi Republik Indonesia
Serikat
(3) UUDS 1950, yang berlaku pada
17 Agustus 1950-5 Juli 1959
(4) UUD 1945, yang berlaku
setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli.
Dalam keempat periode tersebut,
UUD 1945 berlaku selama dua kali. Pertama diundangkan dalan Berita Republik
Indonesia Tahun II No. 7. kedua, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1945.
Perkembangan ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi dengan UUD dan Pancasila
sebagai Falsafah Negara tidak berjalan dengan mulus karena Beland selalu ingin
menancapkan kembali kekuasaannya.
Berbagai pengalaman pahit telah
dialami bagngsa Indonesia, Belanda terus mencecar dengan memaksakan agar
mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia telah runtuh, kedaulatan telah hancur.
Mereka juga secara terus menerus membuat “Negara” di tubur RI yang diakui
secara defacto dngan persetujuan Linggarjati.
Pada tanggal 2 November 1949
diadakan Konferensi Meja Bundar kemudian dilakukan pengesahan pda tanggal 27
Desember 1949 tentang penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia. Dalam KMB
terdapat tiga kesepakatan yaitu:
Mendirikan Republik Indonesia
Serikat Penyerahan Kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal, yaitu;
(a)piagam penyerahan kedaulatan
dari kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS
(b) Status uni
(c) persetujuan perpindahan mendirikan uni
antar Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda
2.2 DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN
UUD 1945
- Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
- Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
- UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
- UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
- Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara
belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang
kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat,
penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang
bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan
Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.
2.3 HIERARKI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:
- UUD 1945
- TAP MPR
- UU/PERPU
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri
Menurut TAP MPR III Tahun 2000:
- UUD 1945
- TAP MPR
- UU
- PERPU
- PP
- Keputusan Presiden
- Peraturan Daerah
Menurut UU No. 10 Tahun 2004:
- UUD 1945
- UU/PERPU
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah
2.4
KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945
- Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
- Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
- Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
- Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
- Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.
BAB IV
KESIMPULAN
Negara pada hakikatnya adalah
suatu sistem, yang terdiri dari berbagai sub sistem yang merupakan prasyarat
bagi keberfungsian dan keberlangsungan negara. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa konsep negara adalah sistem yang statis (ajeg, dalam pengertian tidak
berubah-ubah atau tidak akan dirubah) , sementara sub sistem dalam negara
tersebut konsep yang dinamis, berkembang dan berubah-ubah. Mengingat hal
tersebut, maka keberadaan pemerintah (organisasi maupun produk hukum yang
dihasilkan), harus selalu disempurnakan sesuai dengan perkembangan masyarakat
(dalam dan luar negeri).
Sebab sub sistem pemerintahan dan
ketatanegaraan yang statis, akan membawa dampak kepada kemandegan kesejahteraan
masyarakat sebagai sub sistem lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
uraian mengenai Sistem Ketatanegaraa RI sebagaimana dipaparkan diatas, bukanlah
suatu doktrin mati yang harus ditaati secara taklid (membuta), tetapi justru
harus disikapi dengan analisa yang tajam dan kritis, sehingga eksistensi
pemerintah benarbenar dapat diterima dan sekaligus mencerminkan kepentingan
masyarakat seluruhnya. Ini berarti pula bahwa dalam melihat realitas negara dan
pemerintah di Indonesia dengan segala kompleksitasnya, pemikiran reformatif
yang konstruktif harus dikedepankan sebagai panglima.
DAFTAR
PUSTAKA
http://panmohamadfaiz.com/2007/03/18/sistem-ketatanegaraan-indonesia-pasca-amandemen/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar