Senin, 09 April 2012

POLITIK dan STRATEGI


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

POLITIK DAN STRATEGI



NAMA                       : TIYARA ENGGAR P.S
NPM                           : 16210921
KELAS                      : 2EA08
FAKULTAS              : EKONOMI
JURUSAN                 :  S1 MANAJEMEN



KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada ALLAH S.W.T karena atas limpahan rahmat dan karunianya serta atas kehendaknya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh bapak Burhanudin.
            Makalah ini diperoleh dari informasi media massa yang berhubungan dengan pengertian “POLITIK dan STRATEGI”. Materi ini bertujuan agar mahasiswa sebagai kalangan inteektual dan masyarakat mengerti tentang system ketatanegaraan Indonesia. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengajar atas bimbingan dan arahannya. Juga kepada rekan-rekan yang telah mendukung saya hingga terselesaikannya makalah ini.
            Saya harap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua dalam hal menambah wawasan tentang Bangsa dan Negara dan kewarganegaraannya. Memang makalah ini masih jauh dari hasil yang baik maka dari itu saya membututuhkan kritik dan saran yang mendukung agar menuju kearah yang lebih baik.



Depok, April 2012





PENULIS     




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………….….…... 2
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………….… 3
BAB I              PENDAHULUAN …………………………………………………………………..  4-5
BAB II             PEMBAHASAN …………………………………………………………………… 6-17
I.                    SISTEM KONSTITUSI………………………………………………………...….. 6-10
1.1  Pengertian Konstitusi ……………………………………………………………..…….. 6-7
1.2  Tujuan Konstitusi ……………………………………………………………….….…… 7-8
1.3  Klasifikasi Konstitusi …………………………………………………………………... 8-10

II.                 SISTEM POLITIK DAN KETATANEGARAAN INDONESIA ………………. 10-17
2.1  Sejarah Ketatanegaraan Indonesia …………………………………………………...…. 10
2.2  Dasar Pemikiran dan Latar Belakang Perubahan UUD 1945 …………………….……. 15
2.3  Hierarki Peraturan Perundang-undangan ……………………………………….….….... 16
2.4  Kesepakatan Panitia AD HOC tentang Perubahan UUD 1945 …………………...…… 17
BAB III            KEIMPULAN ……………………………………………………………..…….…… 18
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………… 19

2.5   
BAB I
PENDAHULUAN
Strategi berasal dari kata yunani strategis yang artinya the art of the general.
Antoine Henri Jomini (1779-1869) dan Karl Von Clausewitz secara ilmiah Jomini memberikan pengertian yang bersifat deskriptif. Ia katakan bahwa strategi adalah seni menyelenggarakan perang diatas peta dan meliputi seluruh wawasan operasi, sedangkan Clausewitz dengan tegas membedakan politik dan strategi.
Dalam abad modern sekarang ini arti strategi tidak lagi terbatas pada konsep ataupun seni seorang pangliman di masa perang tetapi sudah berkembang den menjadi tanggung jawab seorang pemimpin. Strategi merupakan oleh karena penglihatan pengertian itu memerlukan intuisi. Seakan-akan orang harus merasa di mana ia sebaiknya menggunakan kekuatan yang tersedia. Disamping strategi merupakan seni, lambat laun ia juga merupakan ilmu pengetahuan.
Lambat laun strategi yang tadinya hanya di gunakan dalam bidang militer, memperoleh perhatian pula dari bidang lain. Strategi pada dasarnya merupakan suatu rangkaian kerangka rencana dantindakan yang disusun dan disiapkan dalam suatu rangkaiyan pentahapan yang masing-masing merupakan jawaban yang optimal terhadap tantangan baru yang mungkin terjadi sebagai akibat dari langkah sebelumnya, dan kesluruhan proses ini terjadi dalam suatu arah tujuan yang ditetapkan sebelumnya.
Startegi nasional adalah seni dan ilmu mengembangkan dan menggunakan kekuatan nasional dalam masa damai maupun masa perang untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan politik nasional.
Dalam rangka nasional, maka strategi nasional merupakan pelaksanaan dari kebijakan nasional, atau dengan kata lain, strategi adalah politik dalam pelaksanaan. Dengan demikian maka strategi nasional sebagai rencana dan pelaksanaan harus kenyal, dinamis, disesuaikan dengan kondisi, situasi dan kemampuan disamping nilai seni.
politik merupakan suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.  Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik nasional menggariskan usaha-usaha untuk mencapai tujuan nasional yang dalam perumusannya dibagi dalam tahap-tahap utama, yaitu  jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Politik nasional meliputi:
  1. Politik dalam negeri, yang diarahkan untuk mengangkat, meninggikan, dan memelihara harkat dan derajat dan potensi rakyat Indonesia yang pernah mengalami kehinaan dan kemelaratan akibat penjajahan menuju sifat-sifat bangsa yang terhormat, dan dapat dibanggakan.
  2. Politik luar negeri yang bersifat bebas aktif anti imperialism dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat serta diarahkan kepada pembentukan solidaritas antar bangsa terutama bangsa Asia-Afrika dan Negara-negara non Aligned.
  3. Politik ekonomi yang bersifat swasembada /swadaya dengan tidak berarti mengisolasi diri, tetapi diarahkan kepada  peningkatan taraf hidup dan daya kreasi rakyat Indonesia sebesar-besarnya.
  4. Politik pertahanan keamanan, yang bersifat defensive aktif dan diarahkan kepada pengamanan serta perlindungan bangsa dan Negara serta usaha-usaha nasional dan penanggulangan segala macam tantangan, ancaman, dan hambatan.



BAB II
PEMBAHASAN
I. SISTEM KONSTITUSI
1.1 PENGERTIAN KONSTITUSI
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.
Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the the operation of an organization” Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Dahulu konstitusi digunakan sebagai penunjuk hukum penting biasanya dikeluarkan oleh kaisar atau raja dan digunakan secara luas dalam hukum kanon untuk menandakan keputusan subsitusi tertentu terutama dari Paus. Konstitusi pada umumnya bersifat kondifaksi yaitu sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). Namun menurut para ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi harus diterjemahkan termasuk kesepakatan politik, negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan distibusi maupun alokasi Konstitusi bagi organisasi pemerintahan negara yang dimaksud terdapat beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, terdapat konstitusi politik atau hukum akan tetapi mengandung pula arti konstitusi ekonomi.
Konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) yang menopang berdirinya suatu negara. Terdapat dua jenis kontitusi, yaitu konstitusi tertulis (Written Constitution) dan konstitusi tidak tertulis (Unwritten Constitution). Ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.
Di beberapa negara terdapat dokumen yang menyerupai konstitusi, namun oleh negara tersebut tidak disebut sebagai konstitusi. Dalam buku yang berjudul The Law and The Constitution, Ivor Jenning menyebutkan di dalam dokumen konstitusi tertulis yang dianut oleh negara-negara tertentu mengatur tentang:
1. Adanya wewenang dan tata cara bekerja suatu lembaga kenegaraan.
2. Adanya ketentuan hak asasi yang dimiliki oleh warga negara yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah.
Tidak semua lembaga-lembaga pemerintahan dapat diatur dalam poin 1 dan tidak semua hak-hak warga negara diatur dalam poin 2. Seperti halnya di negara Inggris. Dokumen-dokumen yang tertulis hanya mengatur beberapa lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dimiliki oleh rakyat, satu dokumen dengan dokumen lainya tidak sama. Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal.
1.2 TUJUAN KONSTITUSI
Pada umumnya hukum bertujuan untuk mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.
Konstitusi juga memiliki tujuan yang hampir sama deengan hukum, namun tujuan dari konstitusi lebih terkait dengan:
1. Berbagai lembaga-lembaga kenegaraan dengan wewenang dan tugasnya masing-masing.
2. Hubungan antar lembaga Negara
3. Hubungan antar lembaga negara(pemerintah) dengan warga negara (rakyat).
4. Adanya jaminan atas hak asasi manusia
5. Hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan jaman.

Semakin banyak pasal-pasal yang terdapat di dalam suatu konstitusi tidak menjamin bahwa konstitusi tersebut baik. Di dalam praktekna, banyak negara yang memiliki lembaga-lembaga yang tidak tercantum di dalam konstitusi namun memiliki peranan yang tidak kalah penting dengan lembaga-lembaga yang terdapat di dalam konstitusi. Bahkan terdapat hak-hak asasi manusia yang diatur diluar konstitusi mendapat perlindungan lebih baik dibandingkan dengan yang diatur di dalam konstitusi.
Dengan demikian banyak negara yang memiliki aturan-aturan tertulis di luar konstitusi yang memiliki kekuatan yang sama denga pasal-pasal yang terdapat pada konstitusi. Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order. Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sede-mikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekua-saan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.
1.3 KLASIFIKASI KONSTITUSI
Hampir semua negara memiliki kostitusi, namun antara negara satu dengan negara lainya tentu memiliki perbeadaan dan persamaan. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi yang berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya. Dalam buku K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975) mengklasifikasi konstitusi sebagai berikut:
a. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (written constitution and unwritten constitution)
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)  
Konstitusi fleksibelitas merupakan konstitusi yang memiliki ciri-ciri pokok:
1. Sifat elastis, artinya dapat disesuaikan dengan mudah .
2. Dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-undang.
c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not supreme constitution).
Konstitusi derajat tinggi, konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara (tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak derajat tinggi adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama.
d. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution)
Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi negara yang bersangkutan. Dalam suatu negara serikat terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah federal (Pusat) dengan negara-negara bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan, karena pada dasarnya semua kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat.
e. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and Parliamentary Executive Constitution).
Dalam sistem pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:
1. Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.
2. Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih.
3. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Dengan ciri-ciri konstitusi yang disebutkan oleh Wheare ” Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and Parliamentary Executive Constitution)”, oleh Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) tidak termasuk kedalam golongan konstitusi Pemerintahan Presidensial maupun pemerintahan Parlementer . Hal ini dikarenakan di dalam tubuh UUD 45 mengndung ciri-ciri pemerintahan presidensial dan ciri-ciri pemerintahan parlementer. Oleh sebab itu menurut Sri Soemantri di Indonesia menganut sistem konstitusi campuran.

II.                SISTEM POLITIK DAN KETATANEGARAAN INDONESIA

2.1  SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia mengesahkan Konstitusi pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negra Indonesia dikenal naskah yang singkat dan supel yang memuat hal-hal yang pokok saja sedangkan didalam melaksanakan aturan yang pokok tersebut diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih rendah. Sejak pertama kali kita menyatakan bernegara republik Indonesia, kita sudah memulai dengan tidak melaksanakan pasal-pasal dari UUD. Pasal-pasal yang kita gunakan ialah pasal peralihan. Menurut UUD 1945, Pemerintahan Republik Indonesia di pimpin oleh presiden dan di Bantu oleh seorang Wakil Presiden (pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)). Residen kecuali sebagai kepala Negara ia juga sebagai kepala Pemerintahan.
Sistem pemerintahan kita ialah Presidensil, dalam arti kepala Pemerintahan ialah Presiden, dan di pihak lain ia tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya kedudukan Presiden tidak bergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Alinea Kedua Angka V, Penjelasan tentang UUD 1945).
Presiden dibantu oleh Wakil Presiden dan juga menteti-menteri yang diangkat dan di berhentikan oleh Presiden (pasal 17 ayat (1), (2), dan (3). Menteri-menteri tidak bertanggung jawab dan tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung kepada Prsiden (angka V Penjelasan UUD 1945).
Meskipun Wakil Presiden dan Menteri-menteri sama-sama berkedudukan sebaga presiden, akan tetapi sifatnya berbeda, yaitu; Pertama, Wakil Presiden diangkat oleh MPR, sedangkan Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedua, Wakil Presiden bukan pembantu Kepala Pemerintahan, tetapi merupakan pembantu Kepala Negara. Menteri-menteri adalah pembantu Kepala Pemerintahan (pasal 17 (3). Ketiga, apabila Presiden berhalangan Wakil Presiden dapat menggantikan Presiden, Menteri tidak biasa menggantikan presiden kecuali apabila dalam waktu yang sama Wakil Presiden juga berhalangan (pasal 8 UUD 1945).
Meskipun tidak bertanggung jawab terhadap DPR akan tetapi kekuasaan Presiden tidaklah tidak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan Dewan Perweakilan Rakyat ialah kuat tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. Menteri-menteri hanya menjalankan pouvoir executf (kekuasaan pemerintahan) dalam praktiknya.
Sebagai pemimpim departemen menteri mengetahui seluk beluk hal mengenai lingkungan pekerjaanya. Menteri mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan politik Negara melalui departemennya. Pada masa awal pemerintahan, kekeuasaan Presiden dalam menjalankan kekuasaanya bukan hanya sekadar berdasrkan pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 UUD 1945, tetapi juga berdasrkan pasal IV aturan peralihan yang berbunyi “ sebelum Majelis PermusyawaratanRakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Pertimbangan agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden di Bantu oleh KOmite Nasional”. Presiden juga mempunyai tugas-tugas sebagai berikut.
Majelis Perusyawaratan Rakyat :
  1. Menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3)
  2. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Pasal 3)
  3. Mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 37)
  4. Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2))mengangkat sumpah Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 9)
  5. Pelaksana kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2))
Dewan Perwakilan Rakyat :
  1. Memajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 1 ayat (2))
  2. Mengesahkan Anggaran Keuangan Pemerintah (Pasal 23 ayat (1))
Dewan Pertimbangan Agung :
  1. Memeberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah (Pasal 6 ayat (1) dan (2)).
Berdasarkan ketentuan ayat IV Aturan Peralihan tersebut, Presiden memilki kekuasaaan yang besar, Presiden memegang kekuasaan Pemerintah dalam arti yang luas. Dalam melaksanakan tugasnya Presiden hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Akibatnya Presiden dengan sah dapat bertidak dictator karena bantuan Komite Nasional sama sekali tidak bisa dianggap merupakan pengekangan terhadap kekuasaanya. Kekuasaan luar biasa Presiden menurut UUD 1945 akan berlangsung sampai terbentuknya MPR, DPR, dan DPA. Selam lembaga tersebut terbentuk, kekuasaan Presiden adalah mutlak.
Pada 29 Agustus 1945 PPKI telah dibubarkan oleh pesiden dan sebagai gantinya dibentuk Komisi Nasional Pusat (KNIP). Badan ini walupun keberadaannya mutlak menurut Aturan Peralihan pasal IV akan , tugasnya hanya sekedar pembantu Presiden dalm bidang yang dikehendaki. Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa semenjak di ciptakan perkembangan UUD 1945 telah mengalami perkembangan yang amat pesat.dua bulan dalam masa perjalanan UUD 1945, terjadi perubahan praktik ketatanegaraan, khususnya perubahan tehadap Aturan Peralihan Pasal IV, dengandikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang menetapkan sebagai berikut:
“Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan Legislatif dan ikut serta menentukan garis-garis besar daripada haluan Negara”. “bahwa pekerjaan Komitr Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilihantara mereka serta bertanggung jawb kepada Komite Nasional Pusat”.
Apabila kita lihat dari ketentuan-ketentuan diatas, terdapat tiga hal yang penting, yaitu:
1.Komite Nasional Pusat menjadi lembaga legislative.
2.Komite Nasional Pusat ikut menetapkan garis-garis besar haluan Negara.
3.Ia membetuk Badan Pekerja yang akan bertanggung jawab kepada Komit Nasional Pusat.
Tugas legislatif yang diserahkan kepada Komite Nasional yang dimaksud, hanyalah dalam bidang pembuatan undang-undang, baik pasif maupun aktif. Tidak termasuk didalamnya hak mengontrol dan mengawasi pemerintah. Tugas itu langsung ada pada Presiden sendiri, sesuai dengan Pasal IV Aturan Peralihan. Berdasarkan semua itu, menurut Tolchah Mansoer, sebenarnya dengan Maklumat No.X belumlah terjadi sesuatu yang fundamental dalam hubungan ketatanegaraan sebab langkah-langkah itu diambil masih dalam batas-batas Pasal IV Aturan Peralihan. Tentang bidang legislative, kalau tadinya Presiden mengerjakan nya dengan bantuan Komite Nasional, sekarang tugas itu oleh Presiden hendak diserahkan kepada Komite Nasional, artinya peranan bantuan itu didalam bidang legislative hendak diperbesar.
Kekuasaan Presiden, menuut A.K. Pringgodigdo, dikatakan dictatorial. Dengan adanya maklumat tersebut Presiden yang tadinya memiliki kekuasaan mutlak maka harus dibagi dengan komite nasional pada tnggal 16 oktober 1945.  Untuk menghindari kesalah pahaman terhadap status dan fungsi Badan Pekerja KNIP tersebut, pada 20 Oktober 1945 dikeluarkanlah penjelasan dri Badan Pekerja, yang menyatakan sebagai berikut :
1. Turut menetapkan garis-garis besar haluan Negara
Ini berarti bahwa Badan Pekerja bersama-sama dengan Presiden menetapkan garis-garis besar haluan negara. Badan Pekerja tidak berhak campur dalam kebijaksanaan (dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Ini tetap ditangan Presiden semata-mata.
2. Menetapkan bersama-sama dengan Presiden undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintah…”
Perubahan kedua yang terjadi dalam penyelenggaraan Negara ialah dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1946. Maklumat Pemeritah ini, sebenarnya adalah suatu tindakan yang maksudnya akan mengadakan pembaruan terhadap susunan cabinet yang ada. Dengan Maklumat ini, diumumkanlah nama-nama dari mentri-mentri dalam susunan kabinet yang baru. Semula cabinet ialah dibawah pimpinan Presiden akan tetapi stelah terbitnya maklumat tersebut kemudian menjadi dewan yang diketuai oleh perdanamentri yang dipimpin oleh Sutan Syahrir.  Dalam hal yang terpenting menurut Joeniarto, di Indonesia telah terjadi konstelasi ketatanegaraan. Jika semula UUD menganut sisim presidensil dengan maklumat tersebut prinsip pertanggung jawaban mentri dengan resmi diakui. Terjadi pergeseran kekuasaan eksekutif yang semula mentri bertanggungjawab kepada presiden sekarang terhadap perdana mentri.
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah tersebut bergeserlah kekuasaan presiden dan mengubah sistim ketatanegaraan yang tadinya presidensil menjadi parlementer. Perlu dikaji apa dasar hokum kedua maklumat tersebut.  Mengenai perkembangan konstitusi tersebut menurut K.C. Wheare: “Many important changes in the working of a constitution occur without any alteration in the rules of custom and convention.” Dalam hubungan dengan UUD 1945 prnyataan ini adalah benar. Perubahan yang radikal telah terjadi tanpa suatu amandemen pada teks dari UUD sendiri.
Terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonsia setelah lahirnya Maklumat Wakil Presiden No. X, sebenarnya belumlah terjadi perubahan yang fundamental karena maklumat itu hanya penegasan terhadap pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Hal ini sebenarnya tidak diatur didalam UUD 1945. Jadi, sebenarnya pertanggungjawaban Menti Negara kepada perdana mentri merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945 (Pasal 17 ). Hal ini seharisnya tidak dapat terjadi tanpa melakukan perubahan terlebih dahulu terhadap Pasal 17 UUD 1945.  Sampai saat ini terjadi perdebatan dikalangan akademisi entang dasar hokum maklumat tersebut. Diantaranya, Ismail Suny berpendapat bahwa dasar hukumMaklumat tersebut adalah kebiasaan atau “convention”. Dengan cara kebiasaan politik itu maka pengaturan tanggungjawab mentri dapat pula ditimbulkan dinegri kita. Lebih lanjut suny mengatakan sebagai berikut.
Apabila convention itu terjadi, tentulah bentuk dan cara kerja tanggungjawab mentri itu akan bersifat sementara. Jadi, sebenarnya segala sifat sementara itu baru dapat hilang kalau DPR dan MPR telah dibentuk oleh seluruh rakyat Indonesia dengan pemilihan umum.”Maka dari itu, segala perubahan pada masa sekarang yang bermaksud menyempurnbakan susunan Negara Republik Indonesia walaupun kelihatannya bertentnggan dengan UUD pantas kita sambut dengan tenang hati. Sementara Assat mempertahankan bahwa, perbuatan Badn Pekerja itu dibenarkan Oleh Komite Nasional Pusat pada sidang III dengan persetujuan Presiden maka kekeuatannya sama dengan Undang-Undang.
Tetapi pertanyaan tersebut mnimbulkan keganjilan karena pada saat itu kita telah memilik UUD, mengapa persetujuan tersebut tidak di atur dalaam perundangan sebgaiman telah diamanatkan oleh UUD 1945. Istilah maklumat selain tidak dikkenal dalam UUD 1945 serta kedudukannya tidak jelas apakah lebih tinggi dari UUd atau lebih rendah. Jika lebih rendah ia tidak bias menagtur muatan materi yang terdapat dalam UUD dan mengubahnya dan jika lebih tinggi, tidak mungkin karena perundang-undangan terttinggi pada waktu itu ialah UUD 1945.
M. Yamin berpendapat bahwa kementerian yang bertanggunga jawab tidak sesuai dengan UUD 1945 bahkan berlawanan dengan pasal 17 UUD 1945. A.K Pringgidigdo mengomentari Assat bahwa ketentuan tersebut tidak benar dengan mendasar pada convention sebagai aturan abru yang sengaja diadakan. Sementara UUD telah mengatur cara-cara penbuatan Undang-Undang melalui ketentuyan pasal 37. jika memang hal tersebut tidak diatur maka convention dapat dibenarkan, tetapi kalau ada dalam UUD maka hal itu menyalahi aturan. Jika hal ini dibiarkan maka UUD hanya dianggap sekadar pelengkap, bias di kesampingkan dengan aturan lain.. perubahan sesungguhnya harus dilakukan oleh MPR sebagaiman telah digariskan UUD.
Sesungguhnya dengan lahirnya Maklumat tesebut telah terjadi perubahan terhadap pasal 17 UUD 1945, tanpa melalui prosedur perubahan menurut pasal 37 UUD 1945.perubahan tersebut tidak diatur dalam UUD akan tetapi dengan jalan istimewa seperti revolusi, coup d’etat, convention dan sebagainya. Hal ini dalikukan karena pada saat itu keadaan dalam kondisi darurat. Artinya, lembaa yang seharusnya dibentuk belun ada.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang yang pernah berlaku, yaitu: (1­).UUD 1945, yang berlaku antar 17 Agustus 1945-27 Desember 1939
(2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(3) UUDS 1950, yang berlaku pada 17 Agustus 1950-5 Juli 1959
(4) UUD 1945, yang berlaku setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli.
Dalam keempat periode tersebut, UUD 1945 berlaku selama dua kali. Pertama diundangkan dalan Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. kedua, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1945. Perkembangan ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi dengan UUD dan Pancasila sebagai Falsafah Negara tidak berjalan dengan mulus karena Beland selalu ingin menancapkan kembali kekuasaannya.
Berbagai pengalaman pahit telah dialami bagngsa Indonesia, Belanda terus mencecar dengan memaksakan agar mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia telah runtuh, kedaulatan telah hancur. Mereka juga secara terus menerus membuat “Negara” di tubur RI yang diakui secara defacto dngan persetujuan Linggarjati.
Pada tanggal 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar kemudian dilakukan pengesahan pda tanggal 27 Desember 1949 tentang penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia. Dalam KMB terdapat tiga kesepakatan yaitu:
Mendirikan Republik Indonesia Serikat Penyerahan Kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal, yaitu;
(a)piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS
 (b) Status uni
 (c) persetujuan perpindahan mendirikan uni antar Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda

2.2  DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945
  1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
  2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
  3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
  4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
  5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
    a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
    b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
    c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
    d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.
2.3 HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:
  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU/PERPU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan Menteri
  7. Instruksi Menteri
Menurut TAP MPR III Tahun 2000:
  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU
  4. PERPU
  5. PP
  6. Keputusan Presiden
  7. Peraturan Daerah
Menurut UU No. 10 Tahun 2004:
  1. UUD 1945
  2. UU/PERPU
  3. Peraturan Pemerintah
  4. Peraturan Presiden
  5. Peraturan Daerah
2.4 KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945
  1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
  4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
  5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.





BAB IV
KESIMPULAN
Negara pada hakikatnya adalah suatu sistem, yang terdiri dari berbagai sub sistem yang merupakan prasyarat bagi keberfungsian dan keberlangsungan negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep negara adalah sistem yang statis (ajeg, dalam pengertian tidak berubah-ubah atau tidak akan dirubah) , sementara sub sistem dalam negara tersebut konsep yang dinamis, berkembang dan berubah-ubah. Mengingat hal tersebut, maka keberadaan pemerintah (organisasi maupun produk hukum yang dihasilkan), harus selalu disempurnakan sesuai dengan perkembangan masyarakat (dalam dan luar negeri).
Sebab sub sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang statis, akan membawa dampak kepada kemandegan kesejahteraan masyarakat sebagai sub sistem lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka uraian mengenai Sistem Ketatanegaraa RI sebagaimana dipaparkan diatas, bukanlah suatu doktrin mati yang harus ditaati secara taklid (membuta), tetapi justru harus disikapi dengan analisa yang tajam dan kritis, sehingga eksistensi pemerintah benarbenar dapat diterima dan sekaligus mencerminkan kepentingan masyarakat seluruhnya. Ini berarti pula bahwa dalam melihat realitas negara dan pemerintah di Indonesia dengan segala kompleksitasnya, pemikiran reformatif yang konstruktif harus dikedepankan sebagai panglima.




DAFTAR PUSTAKA
http://panmohamadfaiz.com/2007/03/18/sistem-ketatanegaraan-indonesia-pasca-amandemen/


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

POLITIK DAN STRATEGI



NAMA                       : TIYARA ENGGAR P.S
NPM                           : 16210921
KELAS                      : 2EA08
FAKULTAS              : EKONOMI
JURUSAN                 :  S1 MANAJEMEN



KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada ALLAH S.W.T karena atas limpahan rahmat dan karunianya serta atas kehendaknya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh bapak Burhanudin.
            Makalah ini diperoleh dari informasi media massa yang berhubungan dengan pengertian “POLITIK dan STRATEGI”. Materi ini bertujuan agar mahasiswa sebagai kalangan inteektual dan masyarakat mengerti tentang system ketatanegaraan Indonesia. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengajar atas bimbingan dan arahannya. Juga kepada rekan-rekan yang telah mendukung saya hingga terselesaikannya makalah ini.
            Saya harap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua dalam hal menambah wawasan tentang Bangsa dan Negara dan kewarganegaraannya. Memang makalah ini masih jauh dari hasil yang baik maka dari itu saya membututuhkan kritik dan saran yang mendukung agar menuju kearah yang lebih baik.



Depok, April 2012





PENULIS     




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………….….…... 2
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………….… 3
BAB I              PENDAHULUAN …………………………………………………………………..  4-5
BAB II             PEMBAHASAN …………………………………………………………………… 6-17
I.                    SISTEM KONSTITUSI………………………………………………………...….. 6-10
1.1  Pengertian Konstitusi ……………………………………………………………..…….. 6-7
1.2  Tujuan Konstitusi ……………………………………………………………….….…… 7-8
1.3  Klasifikasi Konstitusi …………………………………………………………………... 8-10

II.                 SISTEM POLITIK DAN KETATANEGARAAN INDONESIA ………………. 10-17
2.1  Sejarah Ketatanegaraan Indonesia …………………………………………………...…. 10
2.2  Dasar Pemikiran dan Latar Belakang Perubahan UUD 1945 …………………….……. 15
2.3  Hierarki Peraturan Perundang-undangan ……………………………………….….….... 16
2.4  Kesepakatan Panitia AD HOC tentang Perubahan UUD 1945 …………………...…… 17
BAB III            KEIMPULAN ……………………………………………………………..…….…… 18
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………… 19

2.5   
BAB I
PENDAHULUAN
Strategi berasal dari kata yunani strategis yang artinya the art of the general.
Antoine Henri Jomini (1779-1869) dan Karl Von Clausewitz secara ilmiah Jomini memberikan pengertian yang bersifat deskriptif. Ia katakan bahwa strategi adalah seni menyelenggarakan perang diatas peta dan meliputi seluruh wawasan operasi, sedangkan Clausewitz dengan tegas membedakan politik dan strategi.
Dalam abad modern sekarang ini arti strategi tidak lagi terbatas pada konsep ataupun seni seorang pangliman di masa perang tetapi sudah berkembang den menjadi tanggung jawab seorang pemimpin. Strategi merupakan oleh karena penglihatan pengertian itu memerlukan intuisi. Seakan-akan orang harus merasa di mana ia sebaiknya menggunakan kekuatan yang tersedia. Disamping strategi merupakan seni, lambat laun ia juga merupakan ilmu pengetahuan.
Lambat laun strategi yang tadinya hanya di gunakan dalam bidang militer, memperoleh perhatian pula dari bidang lain. Strategi pada dasarnya merupakan suatu rangkaian kerangka rencana dantindakan yang disusun dan disiapkan dalam suatu rangkaiyan pentahapan yang masing-masing merupakan jawaban yang optimal terhadap tantangan baru yang mungkin terjadi sebagai akibat dari langkah sebelumnya, dan kesluruhan proses ini terjadi dalam suatu arah tujuan yang ditetapkan sebelumnya.
Startegi nasional adalah seni dan ilmu mengembangkan dan menggunakan kekuatan nasional dalam masa damai maupun masa perang untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan politik nasional.
Dalam rangka nasional, maka strategi nasional merupakan pelaksanaan dari kebijakan nasional, atau dengan kata lain, strategi adalah politik dalam pelaksanaan. Dengan demikian maka strategi nasional sebagai rencana dan pelaksanaan harus kenyal, dinamis, disesuaikan dengan kondisi, situasi dan kemampuan disamping nilai seni.
politik merupakan suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.  Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik nasional menggariskan usaha-usaha untuk mencapai tujuan nasional yang dalam perumusannya dibagi dalam tahap-tahap utama, yaitu  jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Politik nasional meliputi:
  1. Politik dalam negeri, yang diarahkan untuk mengangkat, meninggikan, dan memelihara harkat dan derajat dan potensi rakyat Indonesia yang pernah mengalami kehinaan dan kemelaratan akibat penjajahan menuju sifat-sifat bangsa yang terhormat, dan dapat dibanggakan.
  2. Politik luar negeri yang bersifat bebas aktif anti imperialism dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat serta diarahkan kepada pembentukan solidaritas antar bangsa terutama bangsa Asia-Afrika dan Negara-negara non Aligned.
  3. Politik ekonomi yang bersifat swasembada /swadaya dengan tidak berarti mengisolasi diri, tetapi diarahkan kepada  peningkatan taraf hidup dan daya kreasi rakyat Indonesia sebesar-besarnya.
  4. Politik pertahanan keamanan, yang bersifat defensive aktif dan diarahkan kepada pengamanan serta perlindungan bangsa dan Negara serta usaha-usaha nasional dan penanggulangan segala macam tantangan, ancaman, dan hambatan.



BAB II
PEMBAHASAN
I. SISTEM KONSTITUSI
1.1 PENGERTIAN KONSTITUSI
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.
Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the the operation of an organization” Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Dahulu konstitusi digunakan sebagai penunjuk hukum penting biasanya dikeluarkan oleh kaisar atau raja dan digunakan secara luas dalam hukum kanon untuk menandakan keputusan subsitusi tertentu terutama dari Paus. Konstitusi pada umumnya bersifat kondifaksi yaitu sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). Namun menurut para ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi harus diterjemahkan termasuk kesepakatan politik, negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan distibusi maupun alokasi Konstitusi bagi organisasi pemerintahan negara yang dimaksud terdapat beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, terdapat konstitusi politik atau hukum akan tetapi mengandung pula arti konstitusi ekonomi.
Konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) yang menopang berdirinya suatu negara. Terdapat dua jenis kontitusi, yaitu konstitusi tertulis (Written Constitution) dan konstitusi tidak tertulis (Unwritten Constitution). Ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.
Di beberapa negara terdapat dokumen yang menyerupai konstitusi, namun oleh negara tersebut tidak disebut sebagai konstitusi. Dalam buku yang berjudul The Law and The Constitution, Ivor Jenning menyebutkan di dalam dokumen konstitusi tertulis yang dianut oleh negara-negara tertentu mengatur tentang:
1. Adanya wewenang dan tata cara bekerja suatu lembaga kenegaraan.
2. Adanya ketentuan hak asasi yang dimiliki oleh warga negara yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah.
Tidak semua lembaga-lembaga pemerintahan dapat diatur dalam poin 1 dan tidak semua hak-hak warga negara diatur dalam poin 2. Seperti halnya di negara Inggris. Dokumen-dokumen yang tertulis hanya mengatur beberapa lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dimiliki oleh rakyat, satu dokumen dengan dokumen lainya tidak sama. Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal.
1.2 TUJUAN KONSTITUSI
Pada umumnya hukum bertujuan untuk mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.
Konstitusi juga memiliki tujuan yang hampir sama deengan hukum, namun tujuan dari konstitusi lebih terkait dengan:
1. Berbagai lembaga-lembaga kenegaraan dengan wewenang dan tugasnya masing-masing.
2. Hubungan antar lembaga Negara
3. Hubungan antar lembaga negara(pemerintah) dengan warga negara (rakyat).
4. Adanya jaminan atas hak asasi manusia
5. Hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan jaman.

Semakin banyak pasal-pasal yang terdapat di dalam suatu konstitusi tidak menjamin bahwa konstitusi tersebut baik. Di dalam praktekna, banyak negara yang memiliki lembaga-lembaga yang tidak tercantum di dalam konstitusi namun memiliki peranan yang tidak kalah penting dengan lembaga-lembaga yang terdapat di dalam konstitusi. Bahkan terdapat hak-hak asasi manusia yang diatur diluar konstitusi mendapat perlindungan lebih baik dibandingkan dengan yang diatur di dalam konstitusi.
Dengan demikian banyak negara yang memiliki aturan-aturan tertulis di luar konstitusi yang memiliki kekuatan yang sama denga pasal-pasal yang terdapat pada konstitusi. Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order. Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sede-mikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekua-saan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.
1.3 KLASIFIKASI KONSTITUSI
Hampir semua negara memiliki kostitusi, namun antara negara satu dengan negara lainya tentu memiliki perbeadaan dan persamaan. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi yang berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya. Dalam buku K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975) mengklasifikasi konstitusi sebagai berikut:
a. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (written constitution and unwritten constitution)
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)  
Konstitusi fleksibelitas merupakan konstitusi yang memiliki ciri-ciri pokok:
1. Sifat elastis, artinya dapat disesuaikan dengan mudah .
2. Dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-undang.
c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not supreme constitution).
Konstitusi derajat tinggi, konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara (tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak derajat tinggi adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama.
d. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution)
Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi negara yang bersangkutan. Dalam suatu negara serikat terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah federal (Pusat) dengan negara-negara bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan, karena pada dasarnya semua kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat.
e. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and Parliamentary Executive Constitution).
Dalam sistem pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:
1. Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.
2. Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih.
3. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Dengan ciri-ciri konstitusi yang disebutkan oleh Wheare ” Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and Parliamentary Executive Constitution)”, oleh Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) tidak termasuk kedalam golongan konstitusi Pemerintahan Presidensial maupun pemerintahan Parlementer . Hal ini dikarenakan di dalam tubuh UUD 45 mengndung ciri-ciri pemerintahan presidensial dan ciri-ciri pemerintahan parlementer. Oleh sebab itu menurut Sri Soemantri di Indonesia menganut sistem konstitusi campuran.

II.                SISTEM POLITIK DAN KETATANEGARAAN INDONESIA

2.1  SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia mengesahkan Konstitusi pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negra Indonesia dikenal naskah yang singkat dan supel yang memuat hal-hal yang pokok saja sedangkan didalam melaksanakan aturan yang pokok tersebut diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih rendah. Sejak pertama kali kita menyatakan bernegara republik Indonesia, kita sudah memulai dengan tidak melaksanakan pasal-pasal dari UUD. Pasal-pasal yang kita gunakan ialah pasal peralihan. Menurut UUD 1945, Pemerintahan Republik Indonesia di pimpin oleh presiden dan di Bantu oleh seorang Wakil Presiden (pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)). Residen kecuali sebagai kepala Negara ia juga sebagai kepala Pemerintahan.
Sistem pemerintahan kita ialah Presidensil, dalam arti kepala Pemerintahan ialah Presiden, dan di pihak lain ia tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya kedudukan Presiden tidak bergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Alinea Kedua Angka V, Penjelasan tentang UUD 1945).
Presiden dibantu oleh Wakil Presiden dan juga menteti-menteri yang diangkat dan di berhentikan oleh Presiden (pasal 17 ayat (1), (2), dan (3). Menteri-menteri tidak bertanggung jawab dan tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung kepada Prsiden (angka V Penjelasan UUD 1945).
Meskipun Wakil Presiden dan Menteri-menteri sama-sama berkedudukan sebaga presiden, akan tetapi sifatnya berbeda, yaitu; Pertama, Wakil Presiden diangkat oleh MPR, sedangkan Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedua, Wakil Presiden bukan pembantu Kepala Pemerintahan, tetapi merupakan pembantu Kepala Negara. Menteri-menteri adalah pembantu Kepala Pemerintahan (pasal 17 (3). Ketiga, apabila Presiden berhalangan Wakil Presiden dapat menggantikan Presiden, Menteri tidak biasa menggantikan presiden kecuali apabila dalam waktu yang sama Wakil Presiden juga berhalangan (pasal 8 UUD 1945).
Meskipun tidak bertanggung jawab terhadap DPR akan tetapi kekuasaan Presiden tidaklah tidak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan Dewan Perweakilan Rakyat ialah kuat tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. Menteri-menteri hanya menjalankan pouvoir executf (kekuasaan pemerintahan) dalam praktiknya.
Sebagai pemimpim departemen menteri mengetahui seluk beluk hal mengenai lingkungan pekerjaanya. Menteri mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan politik Negara melalui departemennya. Pada masa awal pemerintahan, kekeuasaan Presiden dalam menjalankan kekuasaanya bukan hanya sekadar berdasrkan pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 UUD 1945, tetapi juga berdasrkan pasal IV aturan peralihan yang berbunyi “ sebelum Majelis PermusyawaratanRakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Pertimbangan agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden di Bantu oleh KOmite Nasional”. Presiden juga mempunyai tugas-tugas sebagai berikut.
Majelis Perusyawaratan Rakyat :
  1. Menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3)
  2. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Pasal 3)
  3. Mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 37)
  4. Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2))mengangkat sumpah Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 9)
  5. Pelaksana kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2))
Dewan Perwakilan Rakyat :
  1. Memajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 1 ayat (2))
  2. Mengesahkan Anggaran Keuangan Pemerintah (Pasal 23 ayat (1))
Dewan Pertimbangan Agung :
  1. Memeberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah (Pasal 6 ayat (1) dan (2)).
Berdasarkan ketentuan ayat IV Aturan Peralihan tersebut, Presiden memilki kekuasaaan yang besar, Presiden memegang kekuasaan Pemerintah dalam arti yang luas. Dalam melaksanakan tugasnya Presiden hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Akibatnya Presiden dengan sah dapat bertidak dictator karena bantuan Komite Nasional sama sekali tidak bisa dianggap merupakan pengekangan terhadap kekuasaanya. Kekuasaan luar biasa Presiden menurut UUD 1945 akan berlangsung sampai terbentuknya MPR, DPR, dan DPA. Selam lembaga tersebut terbentuk, kekuasaan Presiden adalah mutlak.
Pada 29 Agustus 1945 PPKI telah dibubarkan oleh pesiden dan sebagai gantinya dibentuk Komisi Nasional Pusat (KNIP). Badan ini walupun keberadaannya mutlak menurut Aturan Peralihan pasal IV akan , tugasnya hanya sekedar pembantu Presiden dalm bidang yang dikehendaki. Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa semenjak di ciptakan perkembangan UUD 1945 telah mengalami perkembangan yang amat pesat.dua bulan dalam masa perjalanan UUD 1945, terjadi perubahan praktik ketatanegaraan, khususnya perubahan tehadap Aturan Peralihan Pasal IV, dengandikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang menetapkan sebagai berikut:
“Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan Legislatif dan ikut serta menentukan garis-garis besar daripada haluan Negara”. “bahwa pekerjaan Komitr Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilihantara mereka serta bertanggung jawb kepada Komite Nasional Pusat”.
Apabila kita lihat dari ketentuan-ketentuan diatas, terdapat tiga hal yang penting, yaitu:
1.Komite Nasional Pusat menjadi lembaga legislative.
2.Komite Nasional Pusat ikut menetapkan garis-garis besar haluan Negara.
3.Ia membetuk Badan Pekerja yang akan bertanggung jawab kepada Komit Nasional Pusat.
Tugas legislatif yang diserahkan kepada Komite Nasional yang dimaksud, hanyalah dalam bidang pembuatan undang-undang, baik pasif maupun aktif. Tidak termasuk didalamnya hak mengontrol dan mengawasi pemerintah. Tugas itu langsung ada pada Presiden sendiri, sesuai dengan Pasal IV Aturan Peralihan. Berdasarkan semua itu, menurut Tolchah Mansoer, sebenarnya dengan Maklumat No.X belumlah terjadi sesuatu yang fundamental dalam hubungan ketatanegaraan sebab langkah-langkah itu diambil masih dalam batas-batas Pasal IV Aturan Peralihan. Tentang bidang legislative, kalau tadinya Presiden mengerjakan nya dengan bantuan Komite Nasional, sekarang tugas itu oleh Presiden hendak diserahkan kepada Komite Nasional, artinya peranan bantuan itu didalam bidang legislative hendak diperbesar.
Kekuasaan Presiden, menuut A.K. Pringgodigdo, dikatakan dictatorial. Dengan adanya maklumat tersebut Presiden yang tadinya memiliki kekuasaan mutlak maka harus dibagi dengan komite nasional pada tnggal 16 oktober 1945.  Untuk menghindari kesalah pahaman terhadap status dan fungsi Badan Pekerja KNIP tersebut, pada 20 Oktober 1945 dikeluarkanlah penjelasan dri Badan Pekerja, yang menyatakan sebagai berikut :
1. Turut menetapkan garis-garis besar haluan Negara
Ini berarti bahwa Badan Pekerja bersama-sama dengan Presiden menetapkan garis-garis besar haluan negara. Badan Pekerja tidak berhak campur dalam kebijaksanaan (dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Ini tetap ditangan Presiden semata-mata.
2. Menetapkan bersama-sama dengan Presiden undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintah…”
Perubahan kedua yang terjadi dalam penyelenggaraan Negara ialah dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1946. Maklumat Pemeritah ini, sebenarnya adalah suatu tindakan yang maksudnya akan mengadakan pembaruan terhadap susunan cabinet yang ada. Dengan Maklumat ini, diumumkanlah nama-nama dari mentri-mentri dalam susunan kabinet yang baru. Semula cabinet ialah dibawah pimpinan Presiden akan tetapi stelah terbitnya maklumat tersebut kemudian menjadi dewan yang diketuai oleh perdanamentri yang dipimpin oleh Sutan Syahrir.  Dalam hal yang terpenting menurut Joeniarto, di Indonesia telah terjadi konstelasi ketatanegaraan. Jika semula UUD menganut sisim presidensil dengan maklumat tersebut prinsip pertanggung jawaban mentri dengan resmi diakui. Terjadi pergeseran kekuasaan eksekutif yang semula mentri bertanggungjawab kepada presiden sekarang terhadap perdana mentri.
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah tersebut bergeserlah kekuasaan presiden dan mengubah sistim ketatanegaraan yang tadinya presidensil menjadi parlementer. Perlu dikaji apa dasar hokum kedua maklumat tersebut.  Mengenai perkembangan konstitusi tersebut menurut K.C. Wheare: “Many important changes in the working of a constitution occur without any alteration in the rules of custom and convention.” Dalam hubungan dengan UUD 1945 prnyataan ini adalah benar. Perubahan yang radikal telah terjadi tanpa suatu amandemen pada teks dari UUD sendiri.
Terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonsia setelah lahirnya Maklumat Wakil Presiden No. X, sebenarnya belumlah terjadi perubahan yang fundamental karena maklumat itu hanya penegasan terhadap pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Hal ini sebenarnya tidak diatur didalam UUD 1945. Jadi, sebenarnya pertanggungjawaban Menti Negara kepada perdana mentri merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945 (Pasal 17 ). Hal ini seharisnya tidak dapat terjadi tanpa melakukan perubahan terlebih dahulu terhadap Pasal 17 UUD 1945.  Sampai saat ini terjadi perdebatan dikalangan akademisi entang dasar hokum maklumat tersebut. Diantaranya, Ismail Suny berpendapat bahwa dasar hukumMaklumat tersebut adalah kebiasaan atau “convention”. Dengan cara kebiasaan politik itu maka pengaturan tanggungjawab mentri dapat pula ditimbulkan dinegri kita. Lebih lanjut suny mengatakan sebagai berikut.
Apabila convention itu terjadi, tentulah bentuk dan cara kerja tanggungjawab mentri itu akan bersifat sementara. Jadi, sebenarnya segala sifat sementara itu baru dapat hilang kalau DPR dan MPR telah dibentuk oleh seluruh rakyat Indonesia dengan pemilihan umum.”Maka dari itu, segala perubahan pada masa sekarang yang bermaksud menyempurnbakan susunan Negara Republik Indonesia walaupun kelihatannya bertentnggan dengan UUD pantas kita sambut dengan tenang hati. Sementara Assat mempertahankan bahwa, perbuatan Badn Pekerja itu dibenarkan Oleh Komite Nasional Pusat pada sidang III dengan persetujuan Presiden maka kekeuatannya sama dengan Undang-Undang.
Tetapi pertanyaan tersebut mnimbulkan keganjilan karena pada saat itu kita telah memilik UUD, mengapa persetujuan tersebut tidak di atur dalaam perundangan sebgaiman telah diamanatkan oleh UUD 1945. Istilah maklumat selain tidak dikkenal dalam UUD 1945 serta kedudukannya tidak jelas apakah lebih tinggi dari UUd atau lebih rendah. Jika lebih rendah ia tidak bias menagtur muatan materi yang terdapat dalam UUD dan mengubahnya dan jika lebih tinggi, tidak mungkin karena perundang-undangan terttinggi pada waktu itu ialah UUD 1945.
M. Yamin berpendapat bahwa kementerian yang bertanggunga jawab tidak sesuai dengan UUD 1945 bahkan berlawanan dengan pasal 17 UUD 1945. A.K Pringgidigdo mengomentari Assat bahwa ketentuan tersebut tidak benar dengan mendasar pada convention sebagai aturan abru yang sengaja diadakan. Sementara UUD telah mengatur cara-cara penbuatan Undang-Undang melalui ketentuyan pasal 37. jika memang hal tersebut tidak diatur maka convention dapat dibenarkan, tetapi kalau ada dalam UUD maka hal itu menyalahi aturan. Jika hal ini dibiarkan maka UUD hanya dianggap sekadar pelengkap, bias di kesampingkan dengan aturan lain.. perubahan sesungguhnya harus dilakukan oleh MPR sebagaiman telah digariskan UUD.
Sesungguhnya dengan lahirnya Maklumat tesebut telah terjadi perubahan terhadap pasal 17 UUD 1945, tanpa melalui prosedur perubahan menurut pasal 37 UUD 1945.perubahan tersebut tidak diatur dalam UUD akan tetapi dengan jalan istimewa seperti revolusi, coup d’etat, convention dan sebagainya. Hal ini dalikukan karena pada saat itu keadaan dalam kondisi darurat. Artinya, lembaa yang seharusnya dibentuk belun ada.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang yang pernah berlaku, yaitu: (1­).UUD 1945, yang berlaku antar 17 Agustus 1945-27 Desember 1939
(2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(3) UUDS 1950, yang berlaku pada 17 Agustus 1950-5 Juli 1959
(4) UUD 1945, yang berlaku setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli.
Dalam keempat periode tersebut, UUD 1945 berlaku selama dua kali. Pertama diundangkan dalan Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. kedua, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1945. Perkembangan ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi dengan UUD dan Pancasila sebagai Falsafah Negara tidak berjalan dengan mulus karena Beland selalu ingin menancapkan kembali kekuasaannya.
Berbagai pengalaman pahit telah dialami bagngsa Indonesia, Belanda terus mencecar dengan memaksakan agar mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia telah runtuh, kedaulatan telah hancur. Mereka juga secara terus menerus membuat “Negara” di tubur RI yang diakui secara defacto dngan persetujuan Linggarjati.
Pada tanggal 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar kemudian dilakukan pengesahan pda tanggal 27 Desember 1949 tentang penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia. Dalam KMB terdapat tiga kesepakatan yaitu:
Mendirikan Republik Indonesia Serikat Penyerahan Kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal, yaitu;
(a)piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS
 (b) Status uni
 (c) persetujuan perpindahan mendirikan uni antar Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda

2.2  DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945
  1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
  2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
  3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
  4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
  5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
    a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
    b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
    c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
    d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.
2.3 HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:
  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU/PERPU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan Menteri
  7. Instruksi Menteri
Menurut TAP MPR III Tahun 2000:
  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU
  4. PERPU
  5. PP
  6. Keputusan Presiden
  7. Peraturan Daerah
Menurut UU No. 10 Tahun 2004:
  1. UUD 1945
  2. UU/PERPU
  3. Peraturan Pemerintah
  4. Peraturan Presiden
  5. Peraturan Daerah
2.4 KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945
  1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
  4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
  5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.





BAB IV
KESIMPULAN
Negara pada hakikatnya adalah suatu sistem, yang terdiri dari berbagai sub sistem yang merupakan prasyarat bagi keberfungsian dan keberlangsungan negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep negara adalah sistem yang statis (ajeg, dalam pengertian tidak berubah-ubah atau tidak akan dirubah) , sementara sub sistem dalam negara tersebut konsep yang dinamis, berkembang dan berubah-ubah. Mengingat hal tersebut, maka keberadaan pemerintah (organisasi maupun produk hukum yang dihasilkan), harus selalu disempurnakan sesuai dengan perkembangan masyarakat (dalam dan luar negeri).
Sebab sub sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang statis, akan membawa dampak kepada kemandegan kesejahteraan masyarakat sebagai sub sistem lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka uraian mengenai Sistem Ketatanegaraa RI sebagaimana dipaparkan diatas, bukanlah suatu doktrin mati yang harus ditaati secara taklid (membuta), tetapi justru harus disikapi dengan analisa yang tajam dan kritis, sehingga eksistensi pemerintah benarbenar dapat diterima dan sekaligus mencerminkan kepentingan masyarakat seluruhnya. Ini berarti pula bahwa dalam melihat realitas negara dan pemerintah di Indonesia dengan segala kompleksitasnya, pemikiran reformatif yang konstruktif harus dikedepankan sebagai panglima.




DAFTAR PUSTAKA
http://panmohamadfaiz.com/2007/03/18/sistem-ketatanegaraan-indonesia-pasca-amandemen/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar