PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Pengertian
dan Pemahaman Bagsa dan Negara, Negara dan Warga Negara dalam Sistem kenegaraan
Indonesia, Demokrasi, dan HAM
UNIVERSITAS
GUNADARMA
TIYARA
ENGGAR P.S
16210921
/ 2EA08
EKONOMI
/ S1 MANAJEMEN
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………..
3
PENDAHULUAN………………………………………………………………………………
4
BAB I PENGERTIAN DAN PEMAHAMAN BANGSA DAN
NEGARA
A.
Pengertian
dan pemahaman Bangsa……………………………………… 6
B.
Pengertian
dan pemahamanan Negara…………………………………… 7
BAB II NEGARA DAN WARGA NEGARA DALAM
SISTEM KENEGARAAN INDONESIA
A.
Pengertian………………………………………………………………..
11
B.
Kewarganegaraan
orang “CINA” peranakan………………………….... 14
C.
Pembaruan
UU kewarganegaraan…………………………………….… 15
BAB III DEMOKRASI
A.
Sejarah
Demokrasi……………………..................................................... 17
B.
Bentuk-bentuk
Demokrasi………………………………………………. 17
C.
Prinsip-prinsip
Demokrasi………………………………………………. 18
D.
Asas
pokok Demokrasi………………………………………………….. 18
E.
Ciri-ciri
pemerintahan Demokrasi………………………………………. 19
F.
Demokrasi
di Indonesia…………………………………………………. 19
BAB IV HAK ASASI MANUSIA
A.
Perkembagan
HAM……………………………………………………... 21
KESIMPULAN………………………………………………………………………………..
24
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………………… 25
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada ALLAH S.W.T karena
atas limpahan rahmat dan karunianya serta atas kehendaknya saya dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh bapak Burhanudin.
Makalah ini diperoleh dari informasi
media massa yang berhubungan dengan pengertian Bangsa dan Negara, Negara dan
Warga Negara dalam system kenegaraan Indonesia, Demokrasi dan Hak Asasi
Manusia. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengajar atas
bimbingan dan arahannya. Juga kepada rekan-rekan yang telah mendukung saya
hingga terselesaikannya makalah ini.
Saya harap dengan membaca makalah
ini dapat memberi manfaat bagi kita semua dalam hal menambah wawasan tentang
Bangsa dan Negara dan kewarganegaraannya. Memang makalah ini masih jauh dari
hasil yang baik maka dari itu saya membututuhkan kritik dan saran yang
mendukung agar menuju kearah yang lebih baik.
Depok,
Maret 2012
PENULIS
PENDAHULUAN
Kaum muda Indonesia adalah masa
depan bangsa. Karena itu, setiap pemuda Indonesia, baik yang masih berstatus
sebagai pelajar, mahasiswa, ataupun yang sudah menyelesaikan pendidikannya
adalah aktor-aktor penting yang sangat diandalkan untuk mewujudkan cita-cita
pencerahan kehidupan bangsa kita di masa depan. “The founding leaders”
Indonesia telah meletakkan dasar-dasar dan tujuan kebangsaan dalam pembukaan
UUD 1945.
Kita mendirikan negara Republik
Indonesia untuk maksud melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut, bangsa
kita telah pula bersepakat membangun kemerdekaan kebangsaan dalam susunan
organisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum yang
bersifat demokratis (democratische rechtsstaat) dan sebagai Negara Demokrasi
konstitutional (constitutional democracy) berdasarkan Pancasila.
Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan
anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau
cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut
sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai
yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang
mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan
dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur
bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang
Dasar. Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdaulat yang mendapatkan pengakuan
dari dunia internasional dan menjadi anggota PBB. Dan mempunyai kedudukan dan
kewajiban yang sama dengan negara–negara lain di dunia, yaitu ikut serta
memelihara dan menjaga perdamaian dunia.
Dalam bentuk modern negara terkait
erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan
cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkrit pertemuan
negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi
pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar
adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi
seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam
kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki layanan yang berbeda
bagi warganya.
Oleh Karena itu Berbagai keputusan
harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara, atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak
jelas dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman
atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam proses
pembentukan Undang-Undang haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang
untuk terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti
juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat
banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan rakyat
banyak ini dipilih secara demokratis pula.
Demokrasi adalah bentuk
atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar
demokrasi adalah prinsip trias
politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis
lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang
sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga
negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan
saling mengontrol berdasarkan prinsip checks
and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga
negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan
untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga
pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki
kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh
wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang
diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui
proses pemilihan
umum legislatif, selain sesuai hukum
dan peraturan.
HAM
dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan
dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga
dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan
mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan
demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas
manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap
menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan
prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua.
BAB
I
PENGERTIAN
DAN PEMAHAMAN BANGSA DAN NEGARA
A. Pengertian
dan Pemahaman Bangsa
Bangsa adalah orang-orang
yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarah serta
berpememrintah sendiri. bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat
karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu di muka bumi (Kamus besar bahasa
indonesia edisi kedua, Depdikbud, halaman 89). Dengan demikian, bangsa
indonesia adalah sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan
menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilayah:
Nusantara/Indonesia.
Pengertian
Bangsa Menurut 10 Ahli
- Menurut
Rawink, bangsa adalah sekumpulan manusia yang bersatu pada satu
wilayah dan memunyai keterikatan dengan wilayah tersebut. Dengan batas
teritori tertentu dan terletak dalam geografis tertentu.
- Menurut
Otto Bauer bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai
kesamaan karakteristik (nasib).
- Ki
Bagoes Hadikoesoemo atau Tuan Munandar
lebih menekankan pengertian bangsa pada persatuan antara orang dan
tempat.
- Menurut
Jalobsen dan Libman, bangsa adalah suatu kesatuan budaya (cultural
unity) dan kesatuan (Politic unity).
- Menurut
Hans Kohn, pengertian bangsa adalah buah hasil tenaga hidup manusia
dalam sejarah.
- Menurut
F. Ratzel, bangsa terbentuk karena adanya hasrat bersatu. Hasrat
itu timbul karena adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat tinggal (geolitik)
- Menurut
Ernest Renan, bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup
bersama (Sejarah & cita-cita). Pengertian Bangsa Menurut
Para Ahli
- Menurut
Guibernau, bangsa adalah negara kebangsaan memiliki unsur-unsur
penting pengikat, yaitu: psikologi (sekelompok manusia yang memiliki
kesadaran bersama untuk membentuk satu kesatuan masyarakat – adanya
kehendak untuk hidup bersama), kebudayaan (merasa menjadi satu bagian dari
suatu kebudayaan bersama), teritorial (batas wilayah atau tanah air),
sejarah dan masa depan (merasa memiliki sejarah dan perjuangan masa depan
yang sama), dan politik (memiliki hak untuk menjalankan pemerintahan
sendiri).
- Rudolf
Kjellen membuat suatu
analogi/membandingkan bangsa dengan suatu organisme biotis dan menyamakan
jiwa bangsa dengan nafsu hidup dari organisme termaksud. Suatu bangsa
mempunyai dorongan kehendak untuk hidup, mempertahankan dirinya dan
kehendak untuk berkuasa.
- Benedict
Anderson mengatakan bahwa bangsa lebih
mengacu kepada pemahaman atas suatu masyarakat yang mempunyai akar sejarah
yang sama dimana praxis pengalaman atas penjajahan begitu kental dirasakan oleh
masyarakat terjajah dan semakin lama akan semakin mengkristalkan
pengalaman atas rasa solidaritas kebersamaan yang tinggi diantara mereka.
B. Pengertian dan Pemahaman Negara
1.) Pengertian Negara.
a.) Negara adalah suatu organisasi dari
sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama sama mendiami satu
wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata
tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut.
b.) Negara adalah satu perserikatan yang
melaksanakan satu pemerintahan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan
kekuasaan untuk memaksa untuk ketertiban sosial. masyarakat ini berada dalam
satu wilayah tertentu yang membedakannya dari kondisi masyarakat lain di
luarnya.
2.) Teori Terbentuknya Negara.
a.) Teori Hukum Alam.Pemikiran pada masa Plato
dan Aristoteles:Kondisi Alam ----> TumbuhnyaManusia ----> Berkembangnya
Negara.
b.) Teori Ketuhanan. (Islam + Kristen)
----> Segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan.
c.) Teori Perjanjian (Thomas Hobbes). Manusia
menghadapi kondisi alam dan timbullah kekerasan. Manusia akan musnah bila ia
tidak mengubah cara-caranya. Manisua pun bersatu untuk mengatasi tantangan dan
menggunakan persatuan dalam gerak tunggal untuk kebutuhan bersama
3.) Prosoes Terbentuknya Negara di Zaman Modern.
Proses tersebut dapat berupa penaklukan,
peleburan 9fusi0, pemisahan diri, dan pendudukan atas negara atau wilayah yang
belum ada pemerintahan sebelumnya
4.) Unsur Negara
a.) Bersifat Konstitutif. Ini berarti bahwa
dalam negara tersebut terdapat wilayah yang meliputi udara, darat, dan perairan
(dalam hal in unsur perairan tidak mutlak), rakyat atau masyarakat, dan
pemerintahan yang berdaulat.
b.) Bersifat Deklaratif. Sifat ini di tunjukkan
oleh adanya tujuan negara, undang-undang dasar, pengakuan dari negara lain baik
secara "de jure" maupun "de facto", dan masuknya negara
dalam perhimpunan bangsa-bangsa, misalnya PBB
5.) Bentuk Negara
Sebuah negara dapat berbentuk negara kesatuan (unitary
state) dan negara serikat (federation).
6.)Proses Bangsa yang Menegara
Proses bangsa yang menegara memberikan
gambaran tentang bagaimana terbentuknya bangsa, dimana sekelompok manusia yang
berada di dalamnya merasa sebagai bagian dari bangsa. Proklamasi atau pintu
gerbang kemerdekaan. Keadaan bernegara yang nilai-nilai dasarnya ialah merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
7.)Pemahaman Hak dan Kewajiban Warga Negara
Warga negara telah diamanatkan pada Pasal 26
(tentang kewajiban), Pasal 27 (tentang hak), Pasal 28 (tentang kewajiban),
Pasal 30 (tentang hak dan kewajiban).
8.)Hubungan Warga Negara dan Negara
a.Siapakah warga negara ?
Warganegara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang bertempat tinggal di Indonesia.
b.Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan
Kesamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan dan
kewajiban warga negara dalam menjujung tinggi hokum dan pemerintahan tanpa
perkecualian.
c.Hak Asasi Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak Bagi kemanusiaan
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
d.Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul
Warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran secara lisan maupun tertulis, dan sebagainya.
e.Kemerdekaan Memeluk Agama
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menyatakan : “Negaraberdasarkan atas
Ketuhana Yang Maha Esa”. Dan ayat (2) berbunyi : ”Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya itu”.
f.Hak dan Kewajiban Pembelaan Negara
Pada Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 : “menyatakan hak dan kewajiban setiap
warga negara untuk ikut sertadalam usaha pembelaan negara”
g.Hak Mendapatkan Pengajaran
Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran
h.Kebudayaan Nasional Indonesia
Kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia
seluruhnya, baik kebudayaan lama dan asli yang berada dalam kebudayaan rakyat
Indonesia.
i.Kesejahteraan Sosial
perekonomian berdasarkan asas kekeluargaan, cabang produksi yang di
kuasai negara dan bumi,air dan kekeyaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai o9leh negra.
9.)Pemahaman tentang Demokrasi
a. Konsep Demokrasi
Konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintah, sedangkan
rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara.
b.Bentuk Demokrasi dalam Pengertian Sistem Pemerintah Negara.
1.Bentuk Demokrasi
Bentuk demokrasi dalam pemerintahan negara adalah Pemerintahan Monarki
dan Pemerintahan Republik.
2.Kekuasaan dalam Pemerintah
Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Eksekutif, dan Kekuasaan Yudikatif.
3.Pemahaman Demokrasi di Indonesia
Dalam sistem Kepartaian, sistem pengisiaan jabatan pemegang kekeuasaan
negara, dan hubungan antara pemegang kekuasaan negara, terutama eksekutif dan
legislative.
4.Prinsip Daasar Pemerintahaan Republik Indonesia
Dua hal yang mendasar yang digariskan secara sistematis, yaitu
Pancasila sebagai sumber hokum dan tata urut peraturan perundangan Republik
Indonesia yang terdiri atas UUD 1945, Ketetapan MPR, UU dan Perpu, PP, Keppres
dan peraturan pelaksanaan lain.
5.Beberapa Rumusan Pancasila
Rumusan Pancasila di rumuskan oleh Mr. Muhammad Yamin, Piagam Jakarta,
Ir. Soekarno, Preambule UUD. Pada akhirnya dirumuskan rumusan Pancasila seperti
di dalam Pembukaan UUD 1945.
6.Struktur Pemerintahaan Republik Indonesia
1.Badan pelaksanaan pemerintahaan (Eksekutif)
2.Pembagian pelaksanaan tugas dan fungsi
3.Pembagian berdasarkan kewilayahaann dan tingkat pemerintah.
BAB II
NEGARA
DAN WARGANEGARA DALAM SISTEM KENEGARAAN INDONESIA
A. PENGERTIAN
Pengaturan
mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari
dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang
dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian
hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada
prinsip hubungan darah. Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang
dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki
status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika
Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip
kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa sajayang dilahirkan
di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh
karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di
negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan
sebagainya, melahirkan anak, makastatus anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika
Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan
Indonesia.
Di
beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada
faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah
dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis
kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya
itu.Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin
terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk
yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang
melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan
isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh
masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara
suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu
menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari
putera-puteri mereka.
Oleh
karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan
atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan.
Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena
kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama
yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang
bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila
yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara
kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses
pewarganegaraan (naturalisasi).
Melalui
proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada
instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat
mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang
bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman sepertiyang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi.Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis.Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman sepertiyang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi.Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis.Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
proses kewarganegaraan itu dapat
diperoleh melalui tiga cara, yaitu:
1. kewarganegaraan karena kelahiran
atau ‘citizenship by birth’
2.
kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau
‘citizenship by naturalization’
3. kewarganegaraan melalui
registrasi biasa atau ‘citizenship by registration’.
Ketiga cara diatas dapat sama-sama
dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam
sistem hukumIndonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara
memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja
sebagaimana lazim dipahami selama ini.
Kasus-kasus
kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat
diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak
warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik
Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang
lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status
kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini dapat memperoleh
status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya
tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila
yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia,
baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan
untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya
tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status
kewarganegaraan Indonesia.
Sebab-sebab
hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena
alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan
bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status
kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya
kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang
bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses
yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya
berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah
terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar
dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada
saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua
status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan
antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan
tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan
kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga
diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.
Di
samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan
adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ‘ius
soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’ sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang
tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang
menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan
internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan
itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan,
tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa
kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap
kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem
campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam
sistem hukum masing-masing.
Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.
Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.
B. KEWARGANEGARAAN
ORANG ‘CINA’ PERANAKAN
Orang-orang
‘Cina’ peranakan yang tinggal menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa
reformasi sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut
sebagai orang ‘Cina’, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu,
karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa
pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang
Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur
pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah
pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan ‘Cina’ dengan warga
negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah
menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda,
Batak, Arab, Manado, Cina, dan lain sebagainya.
Karena
itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan ‘Tionghoa’ di tengah
masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya
sendiri tidak begitu ‘sreg’ dengan sebutan ‘Tionghoa’ itu untuk dinisbatkan
kepada kelompok masyarakat Indonesia keturunan ‘Cina’. Secara psikologis, bagi
kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah ‘Tionghoa’ itu malah lebih
‘distingtif’ atau lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’
dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah
‘Tionghoa’ itu sendiri terdengar lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan
terlalu tinggi posisinya dalam berhadapan dengan kelompok masyarakat di luar
keturunan ‘Cina’. ‘Tiongkok’ atau ‘Tionghoa’ itu sendiri mempunyai arti sebagai
negara pusat yang di dalamnya terkandung pengertian memperlakukan negara-negara
di luarnya sebagai negara pinggiran. Karena itu, penggantian istilah ‘Cina’
yang dianggap cenderung ‘merendahkan’ dengan perkataan ‘Tionghoa’ yang
bernuansa kebanggaan bagi orang ‘Cina’ justru akan berdampak buruk, karena
dapat menimbulkan dampak psikologi bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu
sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Di pihak lain, penggunaan istilah
‘Tionghoa’ itu sendiri juga dapat direspons sebagai ‘kejumawaan’ dan
mencerminkan arogansi cultural atau ‘superiority complex’ dari kalangan
masyarakat ‘Cina’ peranakan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Anggapan
mengenai adanya ‘superiority complex’ penduduk keturunan ‘Cina’ dipersubur pula
oleh kenyataan masih diterapkannya sistem penggajian yang ‘double standard’ di
kalangan perusahaan-perusahaan keturunan ‘Cina’ yang mempekerjakan mereka yang
bukan berasal dari etnis ‘Cina’. Karena itu, penggunaan kata ‘Tionghoa’ dapat
pula memperkuat kecenderungan ekslusivisme yang menghambat upaya pembauran
tersebut.
Oleh
karena itu, mestinya, reformasi perlakuan terhadap masyarakat keturunan ‘Cina’
dan warga keturunan lainnya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian
istilah semacam itu. Yang lebih penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan
sistem hukum yang bersifat non-diskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip hak
asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan hukum yang tegas dan tanpa
pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua pihak untuk secara
sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan politik yang
terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun tidak perlu
lagi menyebut dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya, siapa saja
warga keturunan yang lahir di Bandung, cukup menyebut dirinya sebagai orang
Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka dapat mengidentifikasikan diri
sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja sebagai orang Madura.
Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di Pekalongan juga banyak yang
mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan saja, bukan Arab Pekalongan.
Proses
pembauran itu secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya apabila medan
pergaulan antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu
dikembangkan dengan cara asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga
pendidikan, medium pemukiman, medium perkantoran, dan medium pergaulan social
pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan pendidikan dan perkantoran
tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis. Lembaga
lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah
keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjuran-anjuran dan dorongan-dorongan
bagi berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang
melibatkan pihak etnis keturunan ‘Cina’ dengan etnis lainnya. Jika seandainya
semua orang melakukan perkawinan bersilang etnis, maka dapat dipastikan bahwa
setelah satu generasi atau setelah setengah abad, isu etnis ini dan apalagi isu
rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di persada
nusantara ini.
C.
PEMBARUAN UNDANG-UNDANG
KEWARGANEGARAAN
Dalam
rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang
bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang
lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan
sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan
istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih
tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum
Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan
pembaruan UU tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan
dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat
membedakan antara warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan
sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan
sebagai warganegara Indonesia.
Orang
yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara Republik Indonesia itu di
kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi, jika yang
bersangkutan tetap sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat
disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai
warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi warganegara Indonesia,
tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Dengan
sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang
calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam
konteks pengertian ‘Warga Negara Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen
diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya,
orang yang pernah menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya
dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.
BAB III
DEMOKRASI
A.Sejarah demokrasi
Sebelum istilah demokrasi ditemukan
oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi
telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara
kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu
permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem
pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu
terdiri dari 1,500 negara kota (poleis)
yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan
yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota
yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi
langsung. Penggagas
dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil
membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut,
tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili
dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari
sekitar 150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat
dan menyuarakan pendapat mereka.
Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh
bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM. Sistem demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan di
Senat dan perwakilan dari rakyat biasa di Majelis.
B. Bentuk-bentuk demokrasi
1.Demokrasi langsung
Demokrasi langsung merupakan suatu
bentuk demokrasi dimana setiap rakyat memberikan suara atau pendapat dalam
menentukan suatu keputusan. Dalam sistem ini, setiap rakyat mewakili dirinya
sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memiliki pengaruh
langsung terhadap keadaan politik yang terjadi. Sistem demokrasi langsung
digunakan pada masa awal terbentuknya demokrasi di Athena dimana ketika
terdapat suatu permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh rakyat berkumpul
untuk membahasnya. Di era modern sistem ini menjadi tidak praktis karena
umumnya populasi suatu negara cukup besar dan mengumpulkan seluruh rakyat dalam
satu forum merupakan hal yang sulit. Selain itu, sistem ini menuntut
partisipasi yang tinggi dari rakyat sedangkan rakyat modern cenderung tidak
memiliki waktu untuk mempelajari semua permasalahan politik negara.
2.Demokrasi perwakilan
Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih
perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan
bagi mereka.[5]
C.Prinsip-prinsip demokrasi
Prinsip
demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi
dalam konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi,
dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi".
Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
- Kedaulatan rakyat
- Pemerintahan
berdasarkan persetujuan dari yang diperintah
- Kekuasaan mayoritas
- Hak-hak minoritas
- Jaminan hak asasi manusia
- Pemilihan
yang bebas dan jujur
- Persamaan
di depan hukum
- Proses
hukum yang wajar
- Pembatasan
pemerintah secara konstitusional
- Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik
- Nilai-nilai
toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat
D.Asas pokok demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu
pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam
hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut
terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:
- Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan,
misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat
secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
- Pengakuan
hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya
tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan
bersama.
Istilah
demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk
pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada
di tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu
tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.
E.Ciri-ciri pemerintahan
demokrasi
Adanya keterlibatan warga negara
(rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik
langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
- Adanya
pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat
(warga negara).
- Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
- Adanya
lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat
penegakan hukum
- Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
- Adanya pers
(media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol
perilaku dan kebijakan pemerintah.
- Adanya
pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan
rakyat.
- Adanya
pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin
negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya
pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
F.Demokrasi
di INDONESIA
Demokrasi adalah suatu pemikiran manusia yang mempunyai
kebebasan berbicara, megeluarkan pendapat. Negara Indonesia menunjukan
sebuah Negara yang sukses menuju demokrasi sebagai bukti yang nyata, dalam
peemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Selain itu bebas
menyelenggarakan kebebasan pers. Semua warga negar bebas berbicara,
mengeluarkan pendapat, mengkritik bahkan mengawasi jalannya pemerintahan.
Demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat bahkan dalam memilih
salah satu keyakinan pun dibebaskan.
Untuk membangun suatu system demokrasi disuatu Negara
bukanlah hal yang mudah karena tidak menutup kemungkinan pembangunan system
demokrasi di suatu Negara akan mengalami kegagalan. Tetapi yang harus kita banggakan
dmokrasi dinegara Indonesia sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat
contahnya dari segi kebebasan, berkeyakinan, berpendapat atau pun berkumpul
mereka bebas bergaul tanpa ada batasan-batasan yang membatasi mereka. Tapi
bukan berarti demokrasi di Indonesia saat ini sudah berjalan sempurna masih
banyak kritik-kritik yang muncul terhadap pemerintah yang belum sepenuhnya bisa
menjamin kebebasan warga negaranya. Dalam hal berkeyakian juga pemerintah belum
sepenuhnya. Berdasarkan survei tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
demokrasi smakin besar bahkan demokrasi adalah system yang terbaik meskipun
system demokrasi itu tidak sempurna.
Dengan begitu banyaknya persoalan yang telah melanda bangsa
Indonesia ini. Keberhasilan Indonesia dalam menetapkan demokrasi tentu harus
dibanggaan karena banyak Negara yang sama dengan Negara Indonesia tetapi Negara
tersebut tidak bisa menegakan system demokrasi dengan baik dalam artian gagal.
Akibat demokrasi jika dilihat diberbagai persoalan dilapangan adalah meningkatnya
angka pengangguran, bertambahnya kemacetan dijalan, semakin parahnya banjir
masalah korupsi, penyelewengan dan itu adalah contoh penomena dalam suatu
Negara system demokrasi, demokrasi adalah system yang buruk diantara
alternatif-alternatif yang lebih buruk tetapi demokrasi memberikan harapan
untuk kebebasan, keadilan dan kesejahtraan oleh karena itu banyak Negara-negara
yang berlomba-lomba menerapkan system demokrasi ini.
BAB IV
HAK ASASI MANUSIA
A.Perkembangan
HAM
Pada tahun 1215 penanda tanganan Magna Charta
dianggap sebagai perlindungan hak asasi manusia yang pertama, dalam kenyataanya
isinya hanya memuat perlindungan hak kaum bangsawan dan kaum Gerejani sehingga
Magna Charta bukan merupakan awal dari sejarah hak hak asasi manusia.
Pada abad 18 perkembangan sejarah perlindungan
hak-hak asasi manusia cukup pesat seperti yang dialami oleh bangsa-bangsa
Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Perjuangan rakyat di Negara- negara
tersebut sangan luar biasa dalam menghadapi kesewenang-wenangan para
penguasanya.
Pertumbuhan ajaran demokrasi menjadikan sejarah perlindungan hak asasi manusia memiliki kaitan erat dengan usaha pembentukan tatanan Negara hukum yang demokratis. Pembatasan kekuasaan para penguasa dalam undang-undang termasuk konstitusi, Pemimpin suatu Negara harus melindungi hak yang melekat secara kodrati pada individu yang menjadi rakyatnya.
Pertumbuhan ajaran demokrasi menjadikan sejarah perlindungan hak asasi manusia memiliki kaitan erat dengan usaha pembentukan tatanan Negara hukum yang demokratis. Pembatasan kekuasaan para penguasa dalam undang-undang termasuk konstitusi, Pemimpin suatu Negara harus melindungi hak yang melekat secara kodrati pada individu yang menjadi rakyatnya.
Konvensi yang di tanda tangani oleh lima belas Dewan
anggota Eropa di Roma, pada tanggal 4 Nopember 1950, mengakui pernyataan umum
hak-hak asasi manusia yang diproklamasikan Sidang Umum PBB 10 Desember 1948,
konvensi tersebut berisi antara lain, pertama hak setiap orang atas hidup
dilindungi oleh undang-undang, kedua menghilangkan hak hidup orang tak
bertentangan, dan ketiga hak setiap orang untuk tidak dikenakan siksaan atau
perlakuan tak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat manusia.
Menurut Myres Mc Dougal, yang mengembangkn
suatu pendekatan tehadap hak asasi manusia yang sarat nilai dan berorientasi
pada kebijakan, berdasarkan pada nilai luhur perlindungan terhdap martabat
manusia. Tuntutan pemenuhan hak asasi manusia berasal dari pertukaran
nilai-nilai intenasional yang luas dasarnya. Nilai-nilai ini dimanifestasikan
oleh tuntunan-tuntunan yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan social,
seperti rasa hormat, kekuasaan pencerahan, kesejahteraan, kesehatan,
keterampilan, kasih sayang dan kejujuran. Semua nilai ini bersama-sama
mendukung dan disahkan oleh, nilai luhur martabat manusia. Menurut piagam PBB pasal 68 pada tahun 1946
telah terbentuk Komisi Hak-hak Manusia ( Commission on Human Rights )
beranggota 18 orang. Komisi inilah yang pada akhirnya menghasilkan sebuah
Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia
( Universal Declaration of Human Rights ) yang dinyatakan diterima baik oleh sidang Umum PBB di Paris pada tanggal 10 Desember 1948. Sedangkan di Indonesia Hak – hak Asasi Manusia, tercantum dalam UUD 45 yang tertuang dalam pembukaan, pasal-pasal dan penjelasan, Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Sebagai konsekuensinya penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan peri keadilan.
( Universal Declaration of Human Rights ) yang dinyatakan diterima baik oleh sidang Umum PBB di Paris pada tanggal 10 Desember 1948. Sedangkan di Indonesia Hak – hak Asasi Manusia, tercantum dalam UUD 45 yang tertuang dalam pembukaan, pasal-pasal dan penjelasan, Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Sebagai konsekuensinya penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan peri keadilan.
Kesadaran dunia international untuk melahirkan
DEklarasi Universal tahun 1948 di Paris, yang memuat salah satu tujuannya
adalah menggalakkan dan mendorong penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dan
kebebasan asasi bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahaswa
atau agama (pasal 1). Pasal tersebut diperkuat oleh ketetapan bunyi pasal 55
dan pasal 56 tentang kerja sama Ekonomi dan Sosial International, yang mengakui
hak-hak universal HAM dan ikrar bersama-sama Negara-negara anggota untuk kerja
sama dengan PBB untuk tujuan tersebut. Organ-organ PBB yang lebih banyak
berkiprah dalam memperjuangkan HAM di antaranya yang menonjol adalah Majelis
Umum, Dewan ECOSOC, CHR, Komisi tentang Status Wanita, UNESCO dan ILO
Hak Asasi Manusia merupakan suatu bentuk dari hikum
alami bagi umat manusia, yakni terdapanya sejulah aturan yang dapat
mendisiplinkan dan menilai tingkah laku kita. Konsep ini disarikan dari
berbagai ideology dan filsafat, ajaran agama dan pandangan dunia, dan
terlambang dengan negara-negara itu dalam suatu kode perilaku internasional.
Dengan demikian, konsep hak asasi tidak lain adalah komitmen bangas-bangsa di
dunia tentang pentingnya penghormatan terhadap sesamanya. Doktrin hak-hak asasi
manusia dan hak menentukan nasib sendiri telah membawa pengaruh yang sangat
besar terhadap hokum dan masyarkat internasional.
Pengaruh tersebut secara khusus tampak dalam
bidang :
1.
Prinsip resiprositas versus tuntutan-tuntutan masyarkat
2.
Rakyat dan individu sebagai wrga masyarakat internasional
3.
Hak-hak asasi manusia dan hak asasi orang asing
4.
Tehnik menciptakan standar hokum internasional
5.
Pengawasan internasional
6.
Pertanggungjwaban internasional, dan
7.
Hukum perang.
Dalam perkembangannya hak hak asasi manuia
diperlambat oleh sejumlah kekuatan yang menentangnya. Diantara
kekuatan-kekuatan tersebut rezim pemerintahan yang otoriter dan struktur
pemerintahan yang sewenang-wenang dan serba mencakup merupakan kekuatan
penentang yang paling besar pengaruhnya terhadap laju perkembangan perlindungan
hak-hak asasi manusia. Terdapat tiga masalah yang menghambat perkembangan hak-hak
asasi manusia, yaitu :
1. Negara menjadi penjamin penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia.
2. Kedua merupakan bagian dari tatanan Negara modern
yang sentrlistik dan birokratis
3. Merujuk pada sejarah khas bangsa-bangsa barat,
sosialis dan Negara-negar dunia ketiga.
KESIMPULAN
Dari
pengalaman masa lalu bangsa kita, terlihat bahwa demokrasi belum membudaya.
Kita memang telah menganut demokraasi dan bahkan telah di praktekan baik dalam
keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. Akan tetapi,
kita belum membudanyakannya.
Membudaya
berarti telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Mengatakan “Demokrasi
telah menjadi budaya” berarti penghayatan nilai-nilai demokrasi telah menjadi
kebiasaan yang mendarah daging di antara warga negara. Dengan kata lain,
demokrasi telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari
kehidupanya. Seluruh kehidupanya diwarnai oleh nilai-nilai demokrasi.
Namun,
itu belum terjadi. Di media massa kita sering mendengar betapa sering warga
negara, bahkan pemerintah itu sendiri, melanggar nilai-nilai demokrasi.
Orang-orang kurang menghargai kebabasan orang lain, kurang menghargai
perbedaan, supremasi hukum kurang ditegakan, kesamaan kurang di praktekan,
partisipasi warga negara atau orang perorang baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam kehidupan pilitik belum maksimal, musyawarah kurang dipakai
sebagai cara untuk merencanakan suatu program atau mengatasi suatu masalah
bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam keluarga dan masyarakat kita sendiri,
nilai-nilai demokrasi itu kurang di praktekan.
Mewujudkan
budaya demokrasi memang tidak mudah. Perlu ada usaha dari semua warga negara.
Yang paling utama, tentu saja, adalah:
1.
Adanya niat untuk memahami nilai-nilai demokrasi.
2.
Mempraktekanya secara terus menerus, atau membiasakannya.
Memahami
nilai-nilai demokrasi memerlukan pemberlajaran, yaitu belajar dari pengalaman
negara-negara yang telah mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih baik
dibandingkan kita. Dalam usaha mempraktekan budaya demokrasi, kita kadang-kadang
mengalami kegagalan disana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk
terus berusaha memperbaikinya dari hari kehari. Suatu hari nanti, kita berharap
bahwa demokrasi telah benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
http://jariqas.wordpress.com/2010/03/13/warga-negara-dalam-sistem-kenegaraan-di-indonesia/
http://kewarganegaraan.wordpress.com/2007/11/19/demokrasi-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar